Memaknai Persaingan Politik
Perlombaan
politik menuju Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 makin intens.
Selain tampilnya partai-partai politik peserta pemilu dan partai-partai
yang kini terlibat sengketa dengan KPU, panggung politik nasional makin
ramai dengan mengapungnya sejumlah nama calon presiden. KPU sendiri
juga sudah membolehkan kontestan pemilu melakukan kampanye terbatas
hingga April 2014. Dengan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan
suara terbanyak, proses politik sekarang ini memang terasa lebih gaduh.
Persaingan
politik tak hanya bersifat eksternal atau antarpartai politik peserta
pemilu, tapi kompetisi di internal partai politik juga tak kalah seru
mengingat posisi nomor urut caleg tidak sesignifi kan dalam sistem
proporsional tertutup.
Pada konteks inilah terjadi persaingan memoles citra politik untuk
memenangi pengaruh dan meraih dukungan dari rakyat. Persaingan merebut
simpati calon pemilih ini dilakukan dengan beragam cara dan metode, mulai
dari kunjungan langsung ke konstituen hingga tampil lewat iklan di media
massa maupun iklan di luar ruang, seperti dalam bentuk baliho, spanduk,
pamflet, atau stiker.
Namun
demikian, tahun yang menjadi ajang pemanasan politik menjelang pemilu
mendatang ini tidak boleh hanya menjadi panggung permainan parpol dan
elite. Proses politik menuju Pemilu 2014 mesti melibatkan publik,
terutama dalam proses pengawasan, agar pesta demokrasi terasa makin
bermakna bagi kepentingan rakyat dan negara.
Rekam Jejak
Ketika
kampanye terbatas dimulai awal 2013 ini, pengawasan terhadap partai dan
elite politik sudah mesti diting- katkan. Apalagi dewasa ini,
partai-partai peserta pemilu sedang sibuk melakukan rekrutmen calon
anggota legislatif untuk lembaga DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD
kabupaten dan kota.
Terkait
proses penentuan caleg, banyak hal mesti dibuka dan diketahui publik.
Informasi mengenai parpol dan caleg harus lebih lengkap dan bisa diakses
masyarakat. Hal ini untuk menjaga agar kualitas caleg dan proses politik
Pemilu 2014 lebih baik dibandingkan pemilu 2009. Jika tidak begitu,
daftar caleg nanti (kembali) berpotensi diisi politisi bermasalah, baik
dari segi kompetensi maupun integritas.
Berdasarkan
pengalaman rekrutmen caleg selama ini, parpol sering mengistimewakan
mereka yang punya kapital besar, popularitas keartisan, atau garis
kekerabatan (dinasti) tertentu, tanpa mempertimbangakan faktor kompetensi
dan integritas. Padahal, keberadaan elite politik yang kompeten dan
berintegritas merupakan persyaratan fundamental agar demokrasi elektoral
lebih bermakna.
Salah
satu dimensi politik, juga mesti diwaspadai publik terkait rekam jejak
caleg dan parpol. Publik mesti mengetahui parpol dan politikus mana saja
yang tak menepati janji yang diumbar saat pemilu lalu atau politisi mana yang
tergolong kutu loncat. Informasi lengkap mengenai hal ini dapat
menghindari publik, terutama pemilih pemula, dari pilihan keliru saat
pemilu nanti.
Pengawasan
terhadap sumber-sumber pembiayaan politik tak kalah penting untuk pemilu
yang lebih baik. Informasi keuangan parpol dan caleg tak hanya menjadi
bahan pertimbangan rakyat dalam menentukan pilihan terbaiknya, tapi juga
bahan bagi lembaga penegakan hukum untuk memprosesnya jika terjadi
pelanggaran.
Belajar
dari pengalaman, potensi parpol dan politisi meraup dana dari sumber
ilegal sangat besar, terutama pada 2013 ini. Kondisi yang juga patut
diwaspadai terkait potensi eksploitasi isu SARA dan sentimen primordial
tertentu untuk mendongkrak popularitas parpol dan politisi.
Gejala
tersebut berpotensi muncul di tahun ini dan bisa meningkat menjelang
pelaksanaan pesta demokrasi. Walaupun pada tingkat elite, ideologi
parpol-parpol yang ada seakan melebur (Ambardi, 2009), tapi saat
memperebutkan dukungan rakyat, sentimen-sentimen SARA bisa muncul secara
ekstrem dan mewujud menjadi konfl ik di akar rumput.
Masyarakat Sipil
Di
tengah hegemoni parpol saat ini, mengawal proses politik sepanjang 2013
dan 2014 merupakan agenda krusial. Pengawasan dan pengaturan dari KPU dan
Panwas memang suatu kemestian, tapi publik tak boleh berharap banyak
karena lembaga resmi ini punya keterbatasan sendiri.
Oleh karena
itu, peningkatan peran masyarakat sipil dalam mengawal proses demokrasi
lima tahunan ini terasa sangat urgen. Sejauh ini gerakan prodemokrasi di
Indonesia belum kokoh dan kekuatannya tak merata di setiap daerah.
Di
banyak daerah, kekuatan masyarakat sipil cenderung lemah berhadapan
dengan kekuatan negara dan kapital. Bahkan, tak sedikit elemen
masyarakat sipil, seperti LSM, media, dan intelektual, yang kemudian
dengan mudah bersalin rupa menjadi bagian persekutuan politik itu
sendiri.
Apa
pun, Pemilu 2014 harus dijelang dengan optimistis. Selain kualitas pengawasan
dari masyarakat sipil, kualitas demokrasi juga ditentukan oleh berlakunya
check and balances antaraktor
politik. Saling kontrol sesama partai dan politisi dapat menjadi sumber
informasi dan pertimbangan bagi masyarakat sebelum menjatuhkan pilihan
sadarnya, sekaligus terbaiknya, pada pemilu nanti. ●
0 komentar:
Posting Komentar