Alangkah Lucunya Negeri Ini: Satir Politik Tanpa Solusi
Satir Politik Tanpa Solusi |
Di mall kita usaha, di pasar kita jaya, di angkot kita kaya!
Sepenggal jargon itu adalah kata-kata penyemangat sahabat-sahabat
kecil kita mengawali harinya sebagai pencopet. Mereka yang di mall,
mereka yang di pasar, dan mereka yang di angkot, berlomba-lomba mencari
sebanyak-banyaknya uang yang bisa mereka dapatkan.
Suatu perjuangan yang
keras bagi anak negeri ini. Anak-anak yang kata UUD 1945 harus
dipelihara oleh negara. Yang harus mendapatkan hak atas pendidikan. Dan
dilindungi dari kekerasan dan ancaman ketakutan.
Komet, Glen, Ribut, dan teman-temannya mendapatkan jauh dari itu.
Untuk makan sehari-hari mereka harus mencopet. Itu pun hanya untuk
makan. Pendidikan? Mereka semua tak bisa membaca, menulis, dan
menghitung.
Di sisi lain, Jupri sedang memamerkan leptop barunya kepada Rohmah.
Tercengang menikmati gambar ikan berwarna warni. Tahu bahwa leptop itu
bisa digunakan untuk internet, untuk bisa mengetahui dunia. Kenyataanya
leptop itu hanya dipakai untuk memandangi screensaver dan main game
saja.
Realitas itulah yang diangkat Dedy Mizwar dan kawan-kawan dalam film
bertajuk Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Komedi Satir yang mengungkapkan
‘keajaiban’ Indonesia.
Keseluruhan film dipenuhi satir2 politik yang cerdas. Jauh dari itu
film ini membuka mata kita semua. Tentang pendidikan, tentang
pengangguran, tentang kerasnya hidup di jalanan, serta kritik pada
penguasa negeri ini. Tanpa pemahaman, filmi ini hanya akan sekedar
menjadi komedi belaka.
Tanpa tahu apa maksud indonesia raya dinyanyikan
dan disertai “Amiiinnnn.” Tidak merasa adanya sindiran ketika si calon
anggota dewan hanya memandangi gambar ikan di leptopnya. Dan tertawa
ketika seorang waria diseret sat pol PP. Semoga para anggota dewan yang
menonton cukup cerdas, agar satir yang ditampilkan tak sekedar menjadi
humor saja.
Pendidikan Tidak Menjamin Kesejahteraan
Buktinya, Muluk yang menyandang gelar Sarjana Manajemen (atau sarjana
Ekonomi-red) mengalami kesulitan mecari kerja. Begitu juga yang dialami
Syamsul yang menyandang title Sarjana Pendidikan. Sementara dua kakak
Rohmah yang hanya lulusan Tsanawiyah dan Madrasah (CMIIW) sukses dengan
kios dan konveksi sablonnya.
Satu realita yang kita hadapi sehari-hari. Betapa banyak sarjana yang
menganggur. Sebagian yang lebih beruntuk beralih profesi. Berdagang,
sopir angkutan, bahkan pemulung. Pengangguran merupakan fenomena sosial
yang menjadi permasalahan di negara kita. Apakah kita harus menyalahkan
lapangan kerja yang kurang, atau sistem pendidikan kita yang dibuat
untuk mencetak buruh. Yang jelas pengangguran dan kemiskinan merupakan
persoalan yang kompleks, yang membutuhkan penanganan komprehensif.
Pendidikan yang tidak membebaskan
Itulah kurikulum kita. Pendidikan yang tidak membebaskan. Dimana kita
selalu diajar dengan buku dan mendengarkan kata Pak/Bu Guru. Dimana
kita disajikan berbagai teori yang seringkali ga match sama realita.
Dimana kita selalu dihadapkan dengan papan tulis, pinsil, buku, meja kayu, dan seragam yang kaku.
“Kalian boleh menulis dengan cara apapun, asal hasilnya menjadi huruf
A.” Satu kritik terhadap pendidikan kita yang seringkali dipenuhi kata
harus. Memang lucu melihat cara2 mereka dalam menulis huruf A. namun
kebebesan menentukan kemauan anak-anak untuk belajar.
Tengoklah apa yang dilakukan sebuah lembaga pendidikan alternatif
Qori’ah Thoyibah. Atau mungkin ada di antara teman-teman yang sudah
membaca buku Toto Chan. Mereka menentukan kurikulum mereka sendiri.
Mereka boleh memilih pelajaran mana yang ingin mereka pelajari terlebih
dahulu. Sistem belajar mereka sungguh menyenangkan, dinamis, dan jauh
dari membosankan.
Suatu kali saya bertemu dengan Bapak Utomo Dananjaya. Pada hari yang
sama saya diperlihatkan kegiatan di Qori’ah Thoyibah melalu video
singkat. Kegiatan yang benar-benar mencari ilmu pengetahuan. Bukan
sekedar mencari nilai. Adakah relevansi seragam dengan kecerdasan?
Adakah relevansi definisi absolut dari sebuah buku dengan pemahaman
murid? Maka lepaskan semua ketidakbebasan. Karena ilmu pengetahuan jauh
lebih bebas, jauh lebih liar, dan jauh lebih luas.
Mengejar nilai, itulah yang diterapkan di sekolah-sekolah
konvensional. Dengan sistem kaku yang menjemukan. Yang memberikan nilai
kuantitatif tanpa ada relasinya dengan kecerdasan. Suatu sistem yang
juga dikritik lewat film India 3idiots. Suatu sistem yang juga
dilanggengkan di Indonesia.
Koruptor: Profesi untuk yang Berpendidikan
Lagi-lagi pendidikan dikritik. Pendidikan membuat orang menjadi
pintar. Bukan hanya lebih pintar dalam mengelola negara, tetapi juga
lebih pintar mengeruk uang negara. Nyatanya pendidikan tidak membuat
orang taat hukum. Pendidikan tidak membuat orang mampu membedakan mana
uang mereka dan yang bukan. Pendidikan tidak membuat orang bisa
menbedakan yang benar dan yang salah. Tanpa pendidikan orang hanya bisa
jadi copet. Dengan pendidikan, orang bisa jadi koruptor.
“Kalo korupsi bisa kan bg? Kan kita sudah berpendidikan.”
Sebuah Dilema: Budi Luhur vs Haram
Yang dilakukan Muluk, Pipit, dan Syamsul, adalah satu tindakan
progresif untuk mengembangkan Komet dan kawan-kawan. Tindakan mereka
patut diacungi jempol. Walau bertahap, namun arah mereka jelas, untuk
membantu teman-teman kecil mereka meninggalkan profesi haram mereka. Toh
segala sesuatunya tidak bisa instan. Nyatanya mereka tetap butuh uang.
Dan jadilah mereka digaji dari hasil mencopet murid-murid mereka.
Kenyataan itu begitu pahit ditelan oleh orang tua Pipit dan Muluk.
Uang haram telah mengalir di darah mereka. Kedua sahabat seperguruan
pesantren itu menangis sejadi-jadinya. Meratapi jerih payah mereka
selama ini untuk selalu jujur, selalu memberi makan dan membesarkan anak
mereka dengan uang yang halah. Kenyataannya, anak mereka mendapatkan
uang haram.
Di satu sisi, perbuatan mereka adalah budi luhur untuk membantu orang
lain. Namun nilai agama mengutuki mereka. Menyudutkan apa yang mereka
lakukan ke tempat yang haram, ke tempat yang salah, ke tempat yang dosa.
Ingatkan kata-kata Pipit? Seandainya Pipit anak orang kaya, tidak
membutuhkan uang, dia akan melakukan pekerjaan itu, mendidik anak-anak
itu tanpa mengambil bagian uang hasil mencopet mereka. Apa mau dikata,
Pipit butuh uang untuk kehidupan sehari-harinya.
DPR: Bukan Cerdas yang Dicari
Jupri sang calon anggota legislatif. No urut 200 sekian (lupa euy)
dari Partai Asam Lambung. Semua pasti tertawa begitu melihat apa yang ia
tunjukan kepada Rohmah. Gambar ikan, itu saja. Leptop itu tidak untuk
mengetik visi misi,program, dan renstra. Tidak untuk menjabarkan
permasalahan rakyat dan penanggulangannya. Tidak juga berisikan
data-data kebutuhan rakyat yang akan menjadi knstituennya.
Mungkin adegan ini mengingatkan kita pada satu peristiwa.
Ketika
anggota DPR menuntut untuk dibelikan leptop, dan kita pun
bertanya-tanya. “Apa mereka semua bisa menggunakannya?”
Penegak Hukum = Bos Mafia
Dua orang berbadan besar, menghampiri Muluk, Jarot, dan kawan-kawan
kecil kita. menegur dan bertanya, “Omset lagi gede ni?” Terlihat oleh
kita, Jarot memberikan lipatan rupiah kepada salah satu dari mereka, dan
mereka pun pergi.
Muluk pun bertanya siapa mereka. Anak-anak butuh pelindung. Jarot lah
yang melindungi. Jarot pun butuh pelindung. Kedua orang itulah yang
melindungi. Polisi, sudah pasti profesi itulah yang terlintas di kepala
kita. mereka berdua pasti polisi.
Di banyak negara, mafia diburu. Mafia menjadi musuh penegak hukum.
Mereka dengan gerakan bawah tanahnya senantiasa berhadapan dengan
polisi. Tapi di Indonesia, di negeri yang alangkah lucunya ini, mafia
berasal dari penegak hukum.
(Belum) Indonesia Raya
Lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Cermatilah kata per kata lagu
kebangsaan kita tercinta. Sungguh indah bukan? Sayangnya Indonesia Raya
masih menjadi doa. Indonesia Raya belum menjadi nyata. “Amiiiiinnnn” pun
menjadi kalimat yang paling cocok tuk diucapkan selesai menyanyikan
Indonesia Raya.
Pedagang Asongan vs Koruptor
Pedagang Asongan diburu Sat Pol PP. Sementara koruptor dibiarkan
bebas begitu saja. Kenapa? Karena koruptor tidak mengganggu jalan.
Karena itu, daripada mengganggu jalan dengan berdagang asongan, lebih
baik merusak jalan, dengan mengkorup dana pembangunan jalan tersebut
sehingga pembangunannya tidak maksimal.
Ending yang Menampar: Law in the book vs Law in action
Muluk tampak tersenyum senang. Setelah mati-matian mengajarkan
mereka. Memberikan pemahaman moral, pancasila, dan agama.
Membuat mereka
mengerti mana yang haram dan mana yang halal. Mendapat penolakan dan
keengganan untuk berubah. Akhirnya kotak asongan yang dibelinya dipakai
juga oleh Komet dan kelima temannya. Komet dan teman-temannya pun senang
bisa melihat Muluk lagi. Mereka saling menyapa, melambaikan tangan dan
tertawa bahagia. Syamsul pun pernah bilang , “kalau jadi tukang asongan,
kalian tidak akan dikejar polisi lagi.”
Tiba-tiba tawa Muluk berubah. Kekhawatiran membayangi wajahnya ketika
ia berteriak sambil berusaha keluar dari kobil. “Lari,” ujarnya. Komet
dan kawan-kawan pun lari seketika. Mereka memang tak dikejar polisi,
mereka juga tidak dikejar massa. Tapi mereka dikejar sat Pol PP yang
siap menggaruk pedagang asongan, gelandangan, pengemis, dan anak
jalanan.
Mencopet adalah pekerjaan haram. Risiko ditangkap, dipenjara, dan
digebuki massa pun menjadi tantangan yang biasa. Dan ketika niat berubah
sudah dilaksanakan, profesi mencopet sudah ditinggalkan, toh mereka
dikejar-kejar juga.
Satir Politik Tanpa Solusi
Bagi yang berharap kisah ini akan berakhir bahagia, tidak akan
menemukan apa yang dicari dalam film ini. Sepotong kalimat dari UUD 1945
mengakhiri film ini. Sepotong kata yang semakin absurd. Yang jelas
diakui dan wajib dijalankan oleh negara karena tertuang dalam landasan
hukum tertinggi negeri kita.
Film ini tak menyajikan akhir yang menjawab pertanyaan kita. Dia
hanya menangkat realita yang ada. Yang dibenturkan dengan “Fakir miskin
dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Satu tamparan besar bagi
negeri ini. Apa yang ada di UUD, sama sekali tak terjadi.
Tanpa solusi, saya dan kawan-kawan beasumsi Dedy Mizwar pun tak menemukan solusi. Memangnya solusi apa yang bisa kita dapatkan dalam kondisi negeri sekarang ini? Saking ‘ajaibnya’ Indonesia. Saking ‘istimewanya’ sistem hukum kita. Tak ada solusi, di Negeri yang alangkah gilanya ini.
0 komentar:
Posting Komentar