Catatan ringan tentang politik praktis dan kaum politisi
ADA kecenderungan di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak muda yang sering disebut sebagai “aktivis”, untuk melihat dunia politik praktis dengan pandangan yang agak kurang bersahabat, dengan sinis.
Yang saya maksud dengan politik praktis di sini adalah terbatas pada politik penyelenggaraan pemerintahan/negara.
Tentu, definisi politik bukan hanya terbatas pada sektor itu. Tetapi sinisme yang saya maksud di sini hanyalah sebatas pada sektor politik pemerintahan dan negara.
Seseorang yang semula dihormati karena menjadi “orang bebas” yang bisa mengutarakan pendapat dan kritik secara leluasa, akan langsung kehilangan “kredibilitas moral” begitu masuk ke sektor politik.
Ada semacam standar etis yang dipakai oleh masyarakat, terutama kalangan muda. Yaitu, seseorang yang bebas dan tak terikat oleh kekuasaan politik praktis dipandang lebih mulia secara moral ketimbang yang terlibat. Tentu hal ini tak pernah dikatakan secara langsung, tetapi saya bisa merasakan hal itu melalui pergaulan saya dengan sejumlah orang kala di Jakarta dulu.
Saya kira, sinisme semacam ini sepenuhnya bisa dipahami. Praktek politik selalu tak seindah gagasan-gagasan besar yang mengilhaminya. Praktek politik selalu “inferior” terhadap cita-cita yang melandasinya.
Saya kira sumber kekecewaan publik pada para politisi adalah sangat sederhana: para politisi selalu gagal memenuhi cita-cita atau harapan yang dikemukakan kepada publik waktu berkampanye. Janji politisi hanya indah di mulut, tetapi gagal diterjemahkan dalam dunia nyata.
Ungkapan yang kerap kita dengar adalah bahwa Si Polan yang dulunya “idealis” ternyata sama saja dengan yang lain waktu menjadi pejabat atau masuk dalam lingkaran “sistem”.
Kekecewaan publik adalah karena adanya “gap” antara ide dan pelaksanannya, antara cetak-biru dan praktek.
Saat perubahan-perubahan politik terjadi setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru, masyarakat (saya kira yang disebut “masyarakat” di sini adalah masyarakat menengah kota) memiliki harapan yang meruap. Kata sihir yang menjadi mantra adalah “reformasi”. Kata ini adalah semacam “password” untuk membuka dunia ideal yang mereka cita-citakan.
Sebagaimana kita tahu, perubahan-perubahan politik di negeri kita tidak sepenuhnya membawa hasil sebagaimana diharapkan oleh masyarakat luas. Di sinilah muncul kekecewaan yang menyakitkan. Dari kekecewaan itulah lahir sikap sinis dan skeptis.
Biasanya, makin besar harapan, kemungkinan untuk kecewa juga kian besar pula.
Saya sendiri juga menaruh harapan yang besar terhadap perubahan-perubahan politik di Indonesia yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini. Saya tentu menyimpan banyak kekecewaan di sana-sini.
Biasanya saya langsung sedih dan kecewa saat melihat kontras antara kehidupan yang saya anggap normal dan “tertib” serta makmur sebagaimana saya saksikan di Amerika Serikat, atau tepatnya di Boston (Caveat: kenyataannya tentu tak semakmur seperti saya lihat di permukaan), dan kenyataan yang pahit sebagaimana saya saksikan di Indonesia sekarang.
Perasaan sedih dan murung langsung menyerbu saya tanpa ampun saat saya terbang dari luar negeri, transit di bandara Changi, Singapura, dan kemudian mendarat di Cengkareng. Saya merasa murung karena melihat kontras antara bandara Changi yang begitu modern, tertib, efisien, dengan bandara Cengkareng yang sekarang pelan-pelan merosot dan kelihatan seperti terminal Pulogadung yang kumuh, ruwet dan menyebalkan.
Setiap tiba di Cengkareng dari luar negeri, saya selalu bertanya: kenapa negeri kita centang-perenang seperti ini; kenapa tak bisa seperti negeri-negeri lain yang normal dan “beradab”?
Gap semacam ini sudah pasti ada pada setiap orang. Semua orang sudah pasti memiliki cita-citanya sendiri. Dan karena itu semua orang memiliki kekecewaannya masing-masing.
Melihat kontras itu, saya langsung kecewa, karena ada “gap” antara harapan yang ada dalam pikiran saya sendiri dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia.
YANG kurang disadari oleh masyarakat luas (termasuk saya sendiri) adalah bahwa politik adalah semacam “reservoir” atau kolam besar tempat bertemunya segala macam harapan dan cita-cita. Tidak semua harapan itu klop dan saling kongruen.
Harapan masyarakat, sebagaimana kita tahu, dipengaruhi oleh aspirasi politiknya masing-masing. Sementara itu, aspirasi politik juga ditentukan oleh perbedaan paham, aliran, agama, dan latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Karena tiap-tiap paham dan aliran membawa aspirasi politiknya masing-masing, maka bukan mustahil harapan politik juga beragam, dan kerapkali saling kontradiksi. Tentu ada banyak aspirasi yang saling klop; tetapi, kita tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa aspirasi dan harapan masyarakat bisa saling tabrakan.
Ini membuat kedudukan politisi menjadi tidak mudah. Politisi berdiri sebagai semacam seorang administratur yang mengelola kolam besar tempat bertemunya cita-cita dan harapan itu. Dia harus mengatasi sejumlah harapan yang tidak sepenuhnya klop dan bersesuaian, tetapi juga kerapkali saling kontradiktif.
Belum lagi jika kita perhitungkan bahwa seorang politisi mempunyai harapan dan kepentingan sendiri. Kita tak boleh lupa, bahwa seorang politisi adalah manusia pula yang memiliki kepentingannya sendiri.
Dunia politik juga menjadi tempat di mana seluruh kepentingan saling bersaing, bahkan konflik. Di sana ada kesempatan dan kemungkinan, tetapi di sana pula terdapat banyak halangan dan kendala. Mengelola segala bentuk kepentingan yang saling tabrakan itu tentu sangat tak mudah.
Kita yang di luar arena, bisa dengan mudah mengatakan bahwa Si Polan telah melakukan pengkhianatan atas cita-cita dan harapan rakyat. Tetapi sudut pandang pelaku yang ada di dalam arena mungkin lain. Dilihat dari dalam, seorang politisi berhadapan dengan sejumlah dilema dan diombang-ambingkan oleh banyak kepentingan yang saling tubrukan.
Itulah sebabnya, saya sangat kagum pada beberapa figur politisi yang dengan sukses bisa mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul dari situasi politik empiris yang tak mudah seperti itu.
Nada tulisan saya ini memang membela kaum politisi. Saya memang membela mereka, sebab saya tahu betapa sulitnya keadaan yang mereka hadapi. Kami, para intelektual, sarjana, dan aktivis, tentu dalam keadaan yang lebih enak, sebab kami hanya berharap. Politisilah yang akan mengelola harapan itu dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh konstelasi politik yang ada.
Dan saya tahu, betapa tak mudahnya mengelola harapan masyarakat! Apalagi jika kita perhitungkan bahwa dalam masyarakat demokratis, tak akan kita temukan lagi seorang “ratu adil” yang dapat membawa perubahan cepat dalam waktu yang singkat.[]
Yang saya maksud dengan politik praktis di sini adalah terbatas pada politik penyelenggaraan pemerintahan/negara.
Tentu, definisi politik bukan hanya terbatas pada sektor itu. Tetapi sinisme yang saya maksud di sini hanyalah sebatas pada sektor politik pemerintahan dan negara.
Seseorang yang semula dihormati karena menjadi “orang bebas” yang bisa mengutarakan pendapat dan kritik secara leluasa, akan langsung kehilangan “kredibilitas moral” begitu masuk ke sektor politik.
Ada semacam standar etis yang dipakai oleh masyarakat, terutama kalangan muda. Yaitu, seseorang yang bebas dan tak terikat oleh kekuasaan politik praktis dipandang lebih mulia secara moral ketimbang yang terlibat. Tentu hal ini tak pernah dikatakan secara langsung, tetapi saya bisa merasakan hal itu melalui pergaulan saya dengan sejumlah orang kala di Jakarta dulu.
Saya kira, sinisme semacam ini sepenuhnya bisa dipahami. Praktek politik selalu tak seindah gagasan-gagasan besar yang mengilhaminya. Praktek politik selalu “inferior” terhadap cita-cita yang melandasinya.
Saya kira sumber kekecewaan publik pada para politisi adalah sangat sederhana: para politisi selalu gagal memenuhi cita-cita atau harapan yang dikemukakan kepada publik waktu berkampanye. Janji politisi hanya indah di mulut, tetapi gagal diterjemahkan dalam dunia nyata.
Ungkapan yang kerap kita dengar adalah bahwa Si Polan yang dulunya “idealis” ternyata sama saja dengan yang lain waktu menjadi pejabat atau masuk dalam lingkaran “sistem”.
Kekecewaan publik adalah karena adanya “gap” antara ide dan pelaksanannya, antara cetak-biru dan praktek.
Saat perubahan-perubahan politik terjadi setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru, masyarakat (saya kira yang disebut “masyarakat” di sini adalah masyarakat menengah kota) memiliki harapan yang meruap. Kata sihir yang menjadi mantra adalah “reformasi”. Kata ini adalah semacam “password” untuk membuka dunia ideal yang mereka cita-citakan.
Sebagaimana kita tahu, perubahan-perubahan politik di negeri kita tidak sepenuhnya membawa hasil sebagaimana diharapkan oleh masyarakat luas. Di sinilah muncul kekecewaan yang menyakitkan. Dari kekecewaan itulah lahir sikap sinis dan skeptis.
Biasanya, makin besar harapan, kemungkinan untuk kecewa juga kian besar pula.
Saya sendiri juga menaruh harapan yang besar terhadap perubahan-perubahan politik di Indonesia yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini. Saya tentu menyimpan banyak kekecewaan di sana-sini.
Biasanya saya langsung sedih dan kecewa saat melihat kontras antara kehidupan yang saya anggap normal dan “tertib” serta makmur sebagaimana saya saksikan di Amerika Serikat, atau tepatnya di Boston (Caveat: kenyataannya tentu tak semakmur seperti saya lihat di permukaan), dan kenyataan yang pahit sebagaimana saya saksikan di Indonesia sekarang.
Perasaan sedih dan murung langsung menyerbu saya tanpa ampun saat saya terbang dari luar negeri, transit di bandara Changi, Singapura, dan kemudian mendarat di Cengkareng. Saya merasa murung karena melihat kontras antara bandara Changi yang begitu modern, tertib, efisien, dengan bandara Cengkareng yang sekarang pelan-pelan merosot dan kelihatan seperti terminal Pulogadung yang kumuh, ruwet dan menyebalkan.
Setiap tiba di Cengkareng dari luar negeri, saya selalu bertanya: kenapa negeri kita centang-perenang seperti ini; kenapa tak bisa seperti negeri-negeri lain yang normal dan “beradab”?
Gap semacam ini sudah pasti ada pada setiap orang. Semua orang sudah pasti memiliki cita-citanya sendiri. Dan karena itu semua orang memiliki kekecewaannya masing-masing.
Melihat kontras itu, saya langsung kecewa, karena ada “gap” antara harapan yang ada dalam pikiran saya sendiri dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia.
YANG kurang disadari oleh masyarakat luas (termasuk saya sendiri) adalah bahwa politik adalah semacam “reservoir” atau kolam besar tempat bertemunya segala macam harapan dan cita-cita. Tidak semua harapan itu klop dan saling kongruen.
Harapan masyarakat, sebagaimana kita tahu, dipengaruhi oleh aspirasi politiknya masing-masing. Sementara itu, aspirasi politik juga ditentukan oleh perbedaan paham, aliran, agama, dan latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Karena tiap-tiap paham dan aliran membawa aspirasi politiknya masing-masing, maka bukan mustahil harapan politik juga beragam, dan kerapkali saling kontradiksi. Tentu ada banyak aspirasi yang saling klop; tetapi, kita tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa aspirasi dan harapan masyarakat bisa saling tabrakan.
Ini membuat kedudukan politisi menjadi tidak mudah. Politisi berdiri sebagai semacam seorang administratur yang mengelola kolam besar tempat bertemunya cita-cita dan harapan itu. Dia harus mengatasi sejumlah harapan yang tidak sepenuhnya klop dan bersesuaian, tetapi juga kerapkali saling kontradiktif.
Belum lagi jika kita perhitungkan bahwa seorang politisi mempunyai harapan dan kepentingan sendiri. Kita tak boleh lupa, bahwa seorang politisi adalah manusia pula yang memiliki kepentingannya sendiri.
Dunia politik juga menjadi tempat di mana seluruh kepentingan saling bersaing, bahkan konflik. Di sana ada kesempatan dan kemungkinan, tetapi di sana pula terdapat banyak halangan dan kendala. Mengelola segala bentuk kepentingan yang saling tabrakan itu tentu sangat tak mudah.
Kita yang di luar arena, bisa dengan mudah mengatakan bahwa Si Polan telah melakukan pengkhianatan atas cita-cita dan harapan rakyat. Tetapi sudut pandang pelaku yang ada di dalam arena mungkin lain. Dilihat dari dalam, seorang politisi berhadapan dengan sejumlah dilema dan diombang-ambingkan oleh banyak kepentingan yang saling tubrukan.
Itulah sebabnya, saya sangat kagum pada beberapa figur politisi yang dengan sukses bisa mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul dari situasi politik empiris yang tak mudah seperti itu.
Nada tulisan saya ini memang membela kaum politisi. Saya memang membela mereka, sebab saya tahu betapa sulitnya keadaan yang mereka hadapi. Kami, para intelektual, sarjana, dan aktivis, tentu dalam keadaan yang lebih enak, sebab kami hanya berharap. Politisilah yang akan mengelola harapan itu dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh konstelasi politik yang ada.
Dan saya tahu, betapa tak mudahnya mengelola harapan masyarakat! Apalagi jika kita perhitungkan bahwa dalam masyarakat demokratis, tak akan kita temukan lagi seorang “ratu adil” yang dapat membawa perubahan cepat dalam waktu yang singkat.[]
1 komentar:
How to find the best slot machines in Las Vegas (2021)
Las Vegas Slot Machines · 안산 출장안마 Slot machines by RTG · 김포 출장마사지 Lucky Nugget's, Bellagio 하남 출장마사지 · Lucky Creek Slot Machines · Lucky 안산 출장안마 Nugget Las Vegas · Lucky Casino 안성 출장안마 Las Vegas · Las Vegas
Posting Komentar