PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA MELALUI KEBUDAYAAN
Budaya
yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga
didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan
‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan
budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam
konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut
suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah
laku) yang terdapat didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik
seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan
terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah
politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan
sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau
memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat
mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat
diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana
ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering,
kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau
kebijaksanaan politik.
Golongan elit yang strategis seperti
para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku
ini, sebab peranan mereka biasanya amat menentukan walau tindakan
politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim politik lingkungannya.
Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai cara-cara yang
tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju tujuan
yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya
terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang
seperti bidang ekonomi dan yang lainnya.
Kebudayaan politik Indonesia pada
dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang
majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa?
Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme
yang tinggi.
Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak
dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat.
Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh
tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan
oleh golongan elit tersebut.
Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang
mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu
pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang
pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak
memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan
secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah
politiknya.
Idealisme diakui memanglah penting.
Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu
ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan
tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi
biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.
Indonesia sendiri mulai menganut sistem
demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Demokrasi dianggap merupakan
sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di
Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah
mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang
secara khusus adalah politik.
Kondisi obyektif tersebut berperan untuk
menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun
demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki
corak-corak yang menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang
murni.
Corak pertama terdapat pada golongan
elite strategis, yakni kecenderungan untuk memaksakan subyektifisme
mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini biasanya melahirkan
sikap mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada anggota
masyarakat biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua cirak
ini tersintesa sehingga menciptakan suasana politik yang
otoriter/totaliter.
Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya
perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku
politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan
tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih belum
mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya
sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan
nilai-nilai idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling
tidak mendekati kesempurnaan dalam konteks Pancasila.
Esensi manusia ideal tersebut harus
dikaitkan pada konsep “dinamika dalam kestabilan”. Arti kata dinamik
disini berarti berkembang untuk menjadi lebih baik.
Misalkan kepada
suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan dengan
dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan
Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa
menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus
berkembang. Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu
untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.
Yang menjadi persoalan kini ialah
bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat
Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi
manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila.
Maka disini
diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi
Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka
kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang
kehidupan.
Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan
kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran
ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa
mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.
Dua faktor yang memungkinkan
keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu
sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik.
Kedua faktor itu adalah:
- Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
- Rasio, faktor yang berasal dari otaknya
Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri
seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu
terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.
Tentu saja tidak hanya kedua faktor
tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan
adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam
diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan
tahapan-tahapan yang adalah
pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis
ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi
kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal
tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa
kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang
memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti
manusia yang lebih Pancasilais.
Transformasi iu memerlukan
tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung
di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan.
Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya
akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa
Indonesia di masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar