Persaingan Politik Indonesia yang “Argumentum ad Hominem”
Dalam acara itu sedang membahas sebuah
partai politik besar yang sedang tersangkut kasus korupsi dan membawa
narasumber dari Cilacap sebagai pembela dari pihak partai. Tapi apa yang
terjadi? Bukannya menepis pernyataan si pembela, tetapi pihak lawan
partai malah mencari fakta-fakta jelek soal pembela tersebut bahkan
mengejek secara fisik.
Ditambah lagi kedua pengacara dari masing-masing
pihak saling mengejek satu sama lain. Bagi kita yang berada di balik
layar kaca mungkin seru, tapi bukankah kita malu melihat masyarakat kita
tidak sehat dalam berargumen politik?
Kini kondisi perpolitikan Indonesia sedang carut-marut melihat banyaknya
pesta politik (yang seharusnya untuk) rakyat yang semakin sering
terjadi. Tengok saja Pilkada DKI yang mendekati ujung dan hingar-bingar
isunya terdengar sampai ujung nusantara. Belum lagi pemilihan presiden
yang deadline-nya hanya menghitung bulan saja. Hal ini membuat persaingan politik di indonesia semakin ketat dan terus memadat.
Aktualitas kondisi perpolitikan diatas
memungkinkan adanya upaya menjatuhkan pihak lawan dalam mencapai
kemenangan, bahkan dengan cara yang sedikit menganggu sekalipun. Argentum ad Hominem yang
menekan argumen terhadap pribadi lawan bicara dan bukannya menepis
pernyataan lawan semakin sering terlihat.
Contohnya kasus dimana ramai
tersebar selebaran mengenai buruknya pemerintahan Jokowi di Solo. Hal
itu menunjukkan bahwa pihak lawan dari Jokowi tidak mampu menepis
pernyataan Jokowi langsung dan lebih memilih untuk mencari cara lain
demi menjatuhkan lawan meskipun dengan pernyataan yang menusuk pribadi
lawan.
Kondisi tersebut pada umumnya didasari pada
kedewasaan berpikir dalam berpolitik. Pendidikan politik juga menjadi
bagian utama bagi para stakeholder ataupun komunikator politik.
Namun ramai juga beberapa waktu yang lalu mengenai gagalnya partai
politik dalam mendidik kadernya mengenai etika dan kesehatan berpolitik
.
Jika selalu seperti ini tidak bisa dipungkiri bahwa kelak
komentar-komentar pedas dan tajam menusuk pribadi akan sering kita
dengar. Kekanak-kanakan bukan? Ya, karena berpolitik itu butuh
kedewasaan.
0 komentar:
Posting Komentar