PEMIKIRAN POLITIK TIMUR DAN PERKEMBANGANNYA
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Politik telah ada sejak zaman dahulu. Yang
memperkenalkan politik pertama kali adalah Aristoteles. Ia menjelaskan bahwa
politik merupakan cara-cara yang dilakukan seseorang maupun kelompok untuk
mencapai hakikat hidup yang tinggi yang diwujudkan melalui interaksi sosial.
Menurutnya manusia akan hidup bahagia jika mengembangkan bakat, bergaul dengan
akrab dan hidup dengan menggunakan moralitas yang tinggi. Tidak jauh bebeda
dengan apa yang di maksud dengan Pemikiran Politik Timur yaitunya gagasan atau
ide-ide mengenai politik ( kekuasaan , aktivitas, struktur, system dan
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara ) yang berkembang dalam
masyarakat timur berdasarkan pada nilai-nilai moralitas dan keyakinan-keyakinan
yang ada pada masyarakat timur.
Saat ini pemikiran
politik timur masih tetap berkembang dalam masyarakat yang umunya hidup
di negara-negara timur. Untuk mencapai perkembangan seperti itu, tentu saja
pemikiran politik timur mengalami suatu proses panjang yang memakan waktu lama
sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.
Oleh
sebab itu pemikiran politik timur dan perkembangannya sangat menarik unutk
dibahas. Bagaimana asal mula terbentuknya pola pemikiran orang-orang timur yang
lebih mengandalkan nilai-nilai masyarakat serta
keyakinan-keyakinan agama seperti Hinduisme, Budhisme, Confuciusme,
Sintoisme dan Islam yang sangat berbeda dengan Pemikiran politik barat yang
pemikirannya berdasarkan logika dan rasionalitas.
2.
Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah
metode penulisan referensi dan pembahasan. Yang mana penulis menggunakan banyak
literature dalam penulisan makalah ini, seperti buku-buku, internet, dan
sumber-sumber lain. Dalam penulisan makalah ini penulis juga melakukan
pembahasan mengenai apa-apa saja yang perlu di ambil dan di jadikan referensi.
Dalam pembahasan penulis menyaring semua
informasi yang ada dan merangkumnya menjadi sebuah makalah yang utuh dan
lengkap. Metode penulisan yang penulis gunakan ini memiliki kelebihan dari
metode-metode yang lain karena selain sederhana, metode ini juga paling gampang
untuk di mengerti dan diolah karena sumbernya berasal dari buku-buku.
3.
Tujuan dan Manfaat
3.1 Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah selain untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah ’’ Pemikiran Politik Timur ’’ yang diberikan pada penulis serta
untuk memberikan gambaran umum mengenai asal mula pemikiran politik timur dan
perkembangannya hingga saat ini.
3.2 Manfaat
Sedangkan
manfaat dari makalah ini adalah diharapkan dapat :
1.
Menambah
wawasan mahasiswa mengenai pemikiran politik timur dan perkembangannya,
2.
Menaruh minat dan mendorong pembaca
terutama mahasiswa untuk meningkatkan pemahaman terhadap filosofi-filosofi atau
ajaran ajaran moral yang terdapat dalam pemikiran politik timur.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Pemikiran Politik
Pemikiran
politik merupakan bagian dari ilmu politik yang mengkhususkan diri dalam
penyelidikan tentang pemikiran – pemikiran yang
terdapat dalam bidang politik, sejak dari dahulu kala di masa Yunani Kuno
sampai ke masa sekarang. Dalam pengertian lain juga disebutkan bahwa, pemikiran
politik adalah suatu bagian ilmu pengetahuan politik dimana nilai, moral,
norma, dan etika selalu menjadi pokok pembahasan yang tidak pernah absen.
Kareana itu, mengesampingkan pemikiran politik berarti mengesampingkan suatu
unsur yang sangat agung dalam studi politik.
Pemikiran
politik sangat erat hubungannya dengan sejarah, filsafat politik, dan juga
dengan hal-hal yang berkaitan dengan etika, moralitas, dan idealisme politik
pada umumnya. Pemikiran politik sering disebut dengan political theory.
Pemikiran politik selalu berkembang dan berubah
sesuai dengan waktu dan tempat dimana setiap tempat juga memiliki perbedaan dan
cirri tersendiri. Hal ini karena jiwa yang dimiliki seorang pemimpin
dipengaruhi oleh masa kecil, budaya, adat-istiadat, pendidikan, agama,
lingkungan, nilai, suku bangsa dll. Untuk itu mempelajari pemikiran politik
sangat menarik, karena adanya banyak pemikiran yang berbeda tapi juga
menakjubkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemikiran politik merupakan pemikiran
tentang bagaimana permasalahan kehidupan bersama masyarakat durus, diatur, dan
diselesaikan.
1.2 Tokoh Sentral Dalam Pemikiran Politik Timur
Ada banyak sekali tokoh-tokoh yang
memliki pemikiran yang menggugah dunia di Timur. Mereka muncul dari beberapa
Negara yang mempunyai kebudayaan dan agama yang berbeda seperti Islam, Cina dan
India. Tapi budaya dan agama itu juga yang menjadi persamaan ciri dari
tokoh-tokoh ini. Karena dasar-dasar pemikiran politik mereka masih sangat
dipengaruhi ajaran agama, dan warisan budaya mereka masing. Untuk lebih
jelasnya bisa kita lihat dan bandingkan perbedaan dan persamaan tersebut dalam
penjelasan singkat berikut:
1. Al- Farabi
Dalam pemikiran politik al-farabi terlihat jelas
dilandasi oleh filsafat kenabian, dalam hal ini al-farabi dapat tergolong
filosof politik yang idealistic. Al-farabi memang memfokuskan perhatiannya pada
pemimpin atau kepala Negara serta kaitannya dengan system pemerintahan.
2. Al – Mawardi
Bila
al-farabi bersifat idealistic dan mengutamakan pemikiran politiknya tentang
kualitas pemimpin, maka Al-Mawarbi cenderung lebih realistic dan berorientasi
pada masalah konstitusi kenegaraan. Al-Mawardi ternyata lebih dulu
memperkenalkan kontrak social pada awal abad XI M, dan baru lima abad kemudian
bermunculan teori kontrak social di Barat.
3. Ibnu
khaldun
Ibnu khaldun mengemukan bahwa system politik itu
sangat diperlukan untuk terwujudnya stabilitas, dan nuansa politik tersebut
amat relevan dengan kondisi manusia sebagai makhluk social-politik. Pemimpin
tidak harus memiliki jarak jauh dengan rakyat. Konsep kepemimpinan primusinterpares ternyata telah diperkenalkan oleh Ibnu khaldun.
4. Confucius
Dari berbagai pemikran Confucius atau Kong Hu Cu,
terutama yang berkaitan dengan politik lebih menekankan bagaimana menjadi
penguasa, pemerintah dan pejabat yang baik yaitu yang mengutamakan kepentingan
rakyat. Rakayta sangatlah penting mengingat banyak rakyat yang menjadi korban
ambisi dan kepentingan penguasa. Confucius juga meyakini adanya tuhan yang
disebut Tien. Dan dekat dengan alam sebagaimana pemikir Cina lainnya.
Denganbegitu dalam setiap pemikirannya mengenai pemerintahan adalah tempat
tinggal yang nyaman dan aman bagi segenap rakyat tanpa terkecuali.
5. Lao Tzu
Dalam
teori politik Lao Tzu, penganut Taonisme sepakat dengan kaum Confucianisme,
bahwa Negara idaman ialah Negara yang dikepalai manusia bijaksana. Hanya
manusia bijaksanalah yang dapat dan seharusnya memerintah. Tetapi perbedaan
diantar kedua mazhab tersebut adalah bahwa menurut kaum Conficianisme , bila
seorang manusia bijaksana menjadi penguasa ia seharusnya berbuat banyak bagi
rakyatnya, sedangkan menurut kaum Taonisme, kewajiban penguasa bijaksana bukan
berbuat banyak tapi meniadakan perbuatan apapun. Menurut Lao Tzu,
kesulitan-kesulitan yang terjadi di dunia bukan disebabkan banyak hal yang
belum di kerjakan, melainkan karena terlalau banyak hal yang telah di kerjakan.
Salah
satu ajaran Lao Tzu dalam kitabnya adalaah “ jangan mengagung-agungkan
orang-orang terhormat, maka rakyat tidak akan lagi bertengkar. Jangan memandang
tinggi benda-benda berharga yang sulit diperoleh, maka tidak aka nada lagi
pencuri. Jika rakyat tidak pernah melihat benda-benda yang membangkitkan
keinginan, maka pemikiran mereka tidak akan rancu. Itulah sebabnya manusia
bijaksana memerintah rakyat dengan cara mengosongkan pikiran mereka, mengisi
perut mereka, melemahkan kehendak mereka, serta mengencangkan syaraf mereka,
dan senantiasa membuat rakayat tanpa pengetahuan serta tanpa keinginan.” (bab 3
kitab Tao).
6. Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchad Gandhi, seorang
pemikir politik di India dan pejuang yang memerdekan India. Membacaa karya
India dan buku pengetahuan, hukum, pemerintah, dan tentang Tuhan merupakan
favoritnya. Ahimsa (tidak melukai) ajaran Gandhi yang terkenal, ajaran ahimsa
adalah dasar dan pedoman untuk bertindak. Tujuannya untuk menegakkan kebenaran.
Cirri ahimsa adalah penyesuaian dan pembaharuan yang tiada henti. Ada 3 bentuk
tindakan bersifat ahimsa yaitu, non co- operation, ketidakpatuhan sipil, dan
puasa. Yang paling utama adalah non co-operation dimaksudkan menolka untuk
mengambil bagian dalam system yang tidak adil. Tuhuannya adalah untuk perubahan
struktur masyarakat yang tidak adil, yang membuat orang menderita.
2. ASAS FILOSOFIS PEMIKIRAN POLITIK CINA
2.1.1
Pemikiran
Cofucius tentang kebahagiaan manusia
Ajaran
utama Confucius menekankan cara menjalani kehidupan yang harmonis dengan mengutamakan
moralitas atau kebajikan. Seseorang dilahirkan untuk menjalani hubungan
tertentu sehingga setiap orang mempunyai kewajiban tertentu. Sebagai contoh,
kewajiban terhadap negara, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban untuk
menolong teman, dan suatu kewajiban umum terhadap kehidupan manusia.
Sifat-sifat
khas ajaran konfusius antara lain adalah:
1.
Berkorban demi kepentingan orang lain
2.
Sopan dan taat pada hukum
3.
Hidup sederhana dan ramah
4. Damai
dan membenci permusuhan dan percekcokan
Pemikiran Confucius, banyak membahas
bagaimana hidup yang baik bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan. Pemikirannya
sering dianggap doktrin agama oleh para pengikutnya. Kebahagiaan dalam ajaran
ini adalah meniadakan kebutuhan material dan rasional. Berbeda dengan
Aristoteles yang berpendapat, kebahagiaan merupakan tujuan manusia yang dapat
dicapai apabila menjalankan fungsi khasnya sebagai makhluk rasional. Manusia
akan merasa bahagia apabila ia menjalankan hidup dengan segenap keutamaan
rasio.Menurutnya hidup yang sempurna lebih bersifat rasional dan material. Bisa
dilihat dari semua hal yang baik seperti kesehatan, kekayaan, persahabatan, pengetahuan,
dan kebajikan. Jadi kebahagiaan dalam perspektifnya adalah sesuatu hal yang
final dan mencukupi sendiri secara kasat mata. Upaya meraih kebahagiaan
merupakan proses terus-terusan mengumpulkan kebaikan, ability, kepandaiaan,
kepiawaian, kehormatan, kecantikan dan persahabatan.
Karena
kebahagiaan merupakan kebaikan dan manusia biasanya merupakan makhluk sosial.
Sudah jelas bahwa setiap orang bekerja untuk kebahagiaan bersama, maka sudah
pasti didapati suatu keadaan yang lebih memungkinkan untuk menciptakan
kebahagiaan dibanding keadan-keadaan yang lain.
2.2 Konsep
Mo Tzu terhadap Perdamaian dan Ketertiban
Ada
seorang dalam generasi yang hidup sesudah meninggalnya Confusius. Kita mengenalnya
dengan nama Mo Tzu. Ia lahir pada tahun 408 SM. (satu tahun sebelum Confusius
meninggal). Mo Tzu jelas seseorang yang berasal dari keturunan yang relative
rendah, sepertin halnya Confusius. Awalnya ia belajar pada orang-orang yang
menyiarkan ajaran-ajaran Confusius. Tetapi ia merasa bahwa Confuciusme yang
diterapkan semasa hidupnya tidak menyentuh akar kesukaran-kesukaran yang
menyebabkan rakyathidup sengsara.
Mo
Tzu mengatakan: Dewasa ini segenap penguasa menginginkan agar negeri mereka
makmur, agar penduduk mereka banyak, dan pemerintahan mereka menghasilkan
ketertiban. Tetapi dalam kenyataan yang diperoleh bukan kemakmuran, melainkan
kemelaratan, bukan penduduk yang banyak jumlahnya, melainkan penduduk yang
sedikit jumlahnya, bukan ketertiban, melainkan kekacauan, dengan demikian
mereka tidak memperoleh apa yang mereka inginkan, dan memperoleh apa yang tidak
mereka sukai. Ini disebabkan penguasa tidak mampu untuk memberikan tempat
terhormat kepada orang-orang yang bajik daan untuk menggunakan orang-orang yang
cakap dalam menyelenggarakanpemerintahan. Sudah tentu harus banyak lagi yang
harus dikerjakan untuk memperoleh orang-orang yang bajik dan paling baik, yang
senantiasa berprilaku bajik, mahir dalam penalaran, dan berpengalaman dalam
ilmu pengetahuan mengenai Jalan.
Sudah
Jelas Mo Tzu sependapat dengan Confusius yang menghendaki agar para penguasa
turun-temurun meyerahkan penyelynggraan pemerintahan mereka kepada orang-orang
yang bajik dan cakap.
Keadaan
masa dahulu bukan satu-satunya tolak ukur yang digunakan oleh Mo Tzu. Meskipun
demikian memang sudah pasti benar bahwa Mo tzu maupun para penganut Confusiusme
pada masa hidupnya kurang menaruh perhatian untuk mengajar orang berikir
sendiri dibandingkan dilakukan oleh confusius.
Sejumlah
perbedaan paham dengan penganut Confuciunisme yang di garis bawahi ole Mo Tzu
jelas tidak didasarkan atas erbedaan filsafat. Sejumlah kecaman Mo tzu yang
paling tajam ditujukan terhadap kebiasaan pemakaman yang mengeluarkan banyak
biaya serta keadaan berkabung yang begitu lama.
Dalam
hal yang menyesalkan adanya perang, Mo Tzu sepaham dengan para penganut
Confuciunisme. Mo Tzu menangani maslah perang dengan dua cara. Pertama-tama,
berusaha untuk menghimbau para penguasa Negara bahwa perang tidak menghasilkan
keuntungan. Mo Tzu menarik kesimpulan baha dengan mengatakan perang bersifat
menguntungkan berarti sama dengan melakukan penalaran pada peristiwa “seprang
dokter yang merawat lebih dari sepuluh ribu pasien, dan hanya menyembuhkan
empat orang. Sulit untuk data mengatakan seorang dokter yang baik.
Seperti
halnya Confusius, Mo Tzu sangat perihatin mengenai penderitaan yang diakibatkan
oleh kemiskinan, kekacauan, dan perang. Tetapi tidak seperti Confusius, Mo tzu
tidak sangat jauh penglihatannya kebalik tujuan langsung untuk menghapus
keadaan-keadaan tersebut. Mo Tzu mendukung serta menganjurkan suatu rencana
yang dimaksudkan untuk menyembuhkan keburukan-keburukan tertentu, dan untuk
dapat melaksanakannya ia bersedia mengorbankan apa saja, termasuk juga
mengorbankan kebahagiaan manusia.
2.3
Mencius Dan Kodrat Manusia
Mencius merupakan filosof China
paling penting setelah Konfucius. Ajaran-ajarannya sangat dijunjung tinggi
selama berabad-abad. Dia sering dianggap sebagai mahaguru kedua yang
kebijakannya hanya dikalahkan oleh Konfucius, panutan Mencius selama dua ratus
tahun.
Mencius memiliki beberapa murid di
masa hidupnya, tetapi pengarunya terhadap Cina berasal terutama dari Book of Mencius, yang berisi paparan
ajaran-ajaran prinsip Mencius. Nada yang diungkapakan dalam Book of Mencius adalah idealis dan
optimis, merefleksikan keyakinan kuat Mencius bahwa manusia itu pada hakikatnya
baik. [1]
Dalam berbagai sudut pandang,
ide-ide politik Mencius sangat menyerupai Konfucius, terutama Mencius sangat
yajin bahwa seorang Raja hatus memerintah dengan teladan-teladan moral bukan
dengan kekuatan.
Mencius menekankan bahwa komponen
utama dari setiap negara adalah rakyat, bukan penguasanya. Adalah tugas
pemimpin untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, para pemimpin harus melayani
rakyat dengan ajaran-ajaran moral dan menciptakan kehidupan yang layak bagi
rakyatnya.Dia menganjurkan pemerintah membuat kebijakan tentang: perdagangan
bebas, pajak ringan, konservasi sumber daya alam, penyebaran kesejahteraan yang
merata dari yang telah di tetapkan. Serta ketentuan pemerintah untuk para
lansiadan orang miskin.
Mencius yakin kekuasaan seorang Raja
berasal dari Surga: tetapi seorang raja yang tidak menghiraukan kesejahteraan
rakyatnya akan kehilangan mandate dari Surga dan akan segera dilengserkan.
Mencius berpendapat manusia pada kodratnya
adalah baik, namun dia juga mengakui adanya unsur-unsur lain yang apabila tidak
terkendali secara tepat akan menimbulkan keburukan.Unsur- unsur ini mewakili segi
“hewani” kehidupan manusia. Untuk menopang teorinya Mencius meng emukakan
beberapa pendapat, yakni: “Setiaporang mempunyai hati yang tidak tahan (melihat
penderitaan) orang lain. Setiap manusia
memiliki empat benih pemula, yaitu:
1.Rasa
belas kasih merupakan benih pemula perikemanusiaan
2.Rasa
malu serta enggan merupakan benih pemula perikeadilan
3.Rasa
rendah hati serta kebersamaan merupakan benih pemula kepantasan
4.Keinsyafan
tentang betul dan salah merupakan benih pemula kearifan
2.4 Skeptisme Mistik Teoisme
Sebagai
suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam sebelum
Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat
Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam
ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik
dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri
dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang
berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya. ”Sikap
pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Pesan mendasar dari Taoisme adalah bahwa kehidupan ini terdiri keseluruhan yang bersifat organik dan saling terhubung (organic and interconnected whole), yang terus berubah secara konstan. Gerak perubahan yang bersifat tetap ini merupakan bagian dari tatanan alamiah alam semesta. Manusia berubah bersama alam yang terus berubah secara alami. Dengan menyadari adanya kesatuan antara alam dan manusia, dan belajar untuk hidup menyesuaikan diri dengan gerak alamiah alam, orang akan sampai pada keadaan yang sepenuhnya bebas dan merdeka, sekaligus secara langsung terhubung dengan gerak kehidupan dari alam semesta.
Pada tahap ini,
orang hidup bersama dan melalui Tao. Orang hidup dalam kesatuan dengan Tao. Ini
adalah tingkat tertinggi di dalam kehidupan manusia. Sebagai ajaran filsafah,
Taoisme dimulai denga skeptisme. Skeptisme ini timbul dari kekecewaan
masyarakat dan situasi politik di China pada abad ke 5M. Pada masa itu banyak
sekali pemberontakan dan perperangan. Korupsi da penyelewengan meraja lela.
Raja-raja, bangsawan dan panglima-panglima perang hidup penuh kemegahan dan
kemewahaan di atas kesengsaraan rakyat. Menurut para penganut Taoisme,
peradaban hedonistis dan materialistis telah merusak kehidupan manusia. Untuk
memulihkan peradaban yang sedang sakit manuia perlu kembali kepada alam dan
menyatu dengan alam.
3. PENGARUH FILSAFAT POLITIK CINA TERHADAP NEGARA
3.1 Otoriterisme Hsun Tzu
Dari
semua ajaran-ajaran Hsun Tzu yang paling terkenal adalah bahwa ia mengatakan
bahwa kodrat manusia itu adalah buruk, dan ini sangat berlawanan dengan ajaran
Mencius yang mengatakan bahwa kodrat manusia adalah baik. Kemungkinan yang
mempengaruhi Hsun Tzu mengenai pandangan itu adalah kenyataan bahwa ia telah
banyak menyimak berbagai pola kebudayaan yang banyak jumlahnya barangkali lebih
dari yang telah disimak oleh Mencius.Chao merupakan negara tumpah darah Hsun
Tzu dan itu banyak dipengaruhi oleh para pengembara yang berkelakuan biadab dan
Hsun Tzu juga pernah tinggal di daerah Ch’I yang berbudaya namun juga pernah
tinggal di daerah Ch’u yang memiliki budaya khusus. Hsun Tzu juga berpendapat
jika kodrat asli manusia yaitu berbuat seperti yang di inginkan maka akan
menimbulkan kesukaan bertengkar, ketamakan serta kesusahan, dan akhirnya
manusia mengalami kekerasan. Dan karena hal tersebut hakikat manusia tersebut
diubah oleh para guru dan hukum, dan dibimbing oleh li serta keadilan. Semua orang pada saat dilahirkan tidak hanya
buruk namun juga sama. Menurutnya semua orang memulai hidup mereka dalam
tingkatan yang sama benar. Dan orang yang paling awam di dunia suatu saat juga
dapat menjadi orang paling bijaksana dengan mengamalkan kebaikan.
Hsun
Tzu sagat menggarisbawahi belajar, ia berpendapat bahwa belajar merupakan pintu
terbuka. Dan jika ini dilakukan dengan usaha dan upaya maka orang dari kalangan
rendah dapat menjadi bangsawan, orang yang tidak tahu-menahu dapat menjadi
bijaksana, dan orang miskin dapat menjadi kaya. Hsunn Tzu berpendapat bahwa
pemerintahan adalah untuk rakyat bukan untuk penguasa. Tindakan yang dapat
memelaratkan rakyat serta memperlakukan para sarjana secara buruk berarti
memancing malapetaka. Tidak seorang pun berhasil dalam peperangan jika
rakyatnya tidak setia kepadanya.
3.2 Otoriterisme Penganut legalisme
Filsafat
ini dikenal sebagai Legalisme, dalam arti yang sangat luas, merupakan
filsafat kontrarevolusi, yang berupaya mempertahankan kekuasaan penguasa
terhadap tuntutan yang semakin keras yang menyatakan bahwa adanya pemerintah
itu untuk rakyat, bukan untuk penguasa dan pemerintahan mana pun yang tidak
dapat memuaskan rakyat harus dikutuk.
Para
penganut menegaskan bahwa mereka adalah pembaharu-pembaharu yang berani, yang
memaklumkan suatu ajaran baru bagi jaman baru. Dan mereka berpendapat bahwa
ajaran Confucianisme dan Moisme adalah ajaran yang tradisionalisme yang
ketinggalan jaman, memiliki teori-teori yang sudah lapuk dan tidak bersedia
untuk mengambil keuntungan dari modernisasi.
Penganut
Legalisme menganjurkan pemerintahan terpusat yang kuat, yang harus menjalankan
kekuasaan mutlak disertai ancaman hukuman yang berat. Hal ini sangat berbeda
dengan ajaran yang dianut oleh para Confucianisme dan mereka sangat tidak suka
dengan adanya kebijakan ini karena mereka akan kehilangan kekuasaan mereka. Oleh karena itu
juga dapat disimpulkan bahwa para Confucianisme merupakan penganut Feodalisme.
Para penganut Legalisme tidak salah jika mengatakan bahwa mereka adalah
pembaharu, karena metode-metode mereka adalah baru. Namun tidak dapat dikatakan
sepenuhnya bahwa tujuan para penganut Legalisme sepenuhnya baru. Sebab mereka
mengupayakan bagi penguasa seluruh negeri kekuasaan mutlak terhadap kaulanya
yang hampir sama dengan yang dijalankan oleh masing-masing penguasa feodal pada
masa silam yang jaya, sebelum rakyat mulai dirusak jiwanya oleh para penganut
Confucianisme dengan membiarkan mereka membicarakan hal-hal tersebut.
Para penganut Legalisme memang
menggarisbawahi hukum, tetapi hanya sebagai suatu sarana, dan bukan
satu-satunya sarana untuk mencapai tujuan mereka. Dan para penganut Legalisme
tidak bersifat Legalistik, dalam arti terutama mementingakn bunyi hukum serta
penafsiranny. Fung Yu-Lan secara tepat sepenuhnya menyatakan bahwa adalah salah
untuk mengaitkan alam pikiran mazhab legalisme dengan ilmu hukum. Pandangan
penganut Legalisme mengenai kodrat manusia berbeda dengan paandnagan penganut
Confucianisme. Seperti kebanyakan penganut Legalisme Hsun Tzu adalah seorang
pejabat administratif lapangan, dan mungkin sebagian masa kerjanya dihabiskan
sebagai seorang petugas kepolisian jenis unggul. Hsun Tzu bersifat skeptik
namun sebagai penganut Confucianisme iai menemukan sebuah rumus untuk
memecahkan kesulitan tersebut, dengan mengorbankan logika.
Sebagai lawan confucianisme, para penganut
Legalisme mempunyai landasan yang kokoh dalam hal penyelenggaraan pemerintahan,
yaitu shu, bagi perilaku
pemerintah. Confucius mengatakan bahwa ilmu tidak ada harganya, kecuali jika
pemiliknya dapt menggunakannya sebaik-baiknya dengan perilaku yang benar untuk
memerintah. Namun setelah negara-negara mempunyai wilayah tertentu yang semakin
luas serta terpusat dam kegiatan ekonomi mwnjadi saemakin berliku-liku, maka
penyelenggaraan pemerintahan semakin lama memerlukan pengetahuan dan
keterampilan yang khusus. Para penganut Legalisme, menginsyafi hal ini, dan
itulah yang mungkin menjadi alasan pokoknya mengapa pemerintah Cina terus
dipengaruhi oleh Legalisme, jauh sesudah Legalisme sebagai suatu filsafat yang
berkembang dalam kenyataannnya tidak ada lagi.
3.3 Pengaruh Eklektisme pada Masa Dinasti Han
Sifat kekolotan Confucianisme, dan
kedudukannya di Cina selama dua ribu tahun terakhir dipengaruhi secara mendalam
oleh apa yang dinamakan kejayaannya pada masa dinasti Han. Banyak pendapat
mengatakan bahwa Kaisar Wu menerima Confucianisme sebagai filsafat
pemerintahannya, karena Confucianisme mengutamaka kepatuhan para kaula kepada
penguasa, dan memperbesar kekuasaan serta martabat kaisar serta kelas yang
berkuasa. Pendapat ini tidak bisa dipastikan betul atau salah. Namun kita harus
mempertimbangkan keadaan dari segi aspek ekonomi dan politik, karena hal ini
merupakan bagian penting dari bahan keterangannya. Perhatian yang khusus perlu
ditaruh pada faktor manusianya yaitu para penguasanya, para sarjananya, dan
rakyat jelatanya.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi
mengenai Kaisar Wu bahwasanya ia sudah menjadi penganut Confucianisme ketika ia
pertama kalinya mewarisi tayhat sebagai seorang anak laki-laki berusia
limabelas tahun, namun tahapan ini dengan cepat dilewatinya; selama masa
hidupnya sebagai orang dewasa, dalam kenyataannya ia penganut Legalisme, yang
dapat secara seksama berpura-pura sebagai penganut Confucianisme demi
kebajikan. Para penasihat yang sebenarnya menentukan perencanaan
kebajikan-kebajikan pemerintahan jelas-jelas bersikap Legalistik dan menolak
Confucianisme.
Ketika pada masa kaisar Wu selama
beberapa waktu sudah menjadi kebiasaan bagi para sarjana yang memperoleh
rekomendasi dari daerah-daerah asal mereka, datang ke istana guna diuji oleh
maharaja. Seorang penganut Confucianisme termasyhur yaitu Tung Chung-shu
menempuh ujian semacam itu pada awal pemerintahan Wu. Peserta lain yang
mengikuti ujian yaitu Kung-Sun Hung. Ia pernah menjadi seorang sipir dan ini
yang menyebabkannya tertarik pada Legalisme. Karena dipecat, akhirnya ia
menjadi penggembala babi dan semasa hidupnya kemudia mempelajari salah sati
kitab klasik Confucianisme. Jawaban soal yang diberikannya, meskipun pada
permukaan bersifat Confucianisme seperti diisyaratkan, namun dalam kenyataannya
jelas-jelas bersifat Legalisme. Ia mengatakan bahwa kaisar harus dengan
bersemangat memaklumkan UU dan menggunakan Shu, metode-metode. Selanjutnya kaisar harus memegang monopoli
atas kendali-kendali yang menguasai hidup dan mati dan mengendalikan
pemerintahan secara pribadi. Para sarjana yang menilai sangat marah terhapa
pekerjaan itu dna memberikan nilai terendah untuknya. Ketika hasil-hasil itu
sampai kepada kaisar, ia menaikkannya dan memberi niali tertinggi dan
menjadikannya perdana mentri hingga ia meninggal. Kaisar memberi ganjaran
sangat banyak terhadap orang-rang yang di atas kertas menganut Confucianisme
yang mengelu-elukannya dan menghukum mereka yang mengecamnya.
Sikap eklektik yang dipunyai para
penganut Confucianisme tidak sedikit. Dalam kenyataannya, sukar untuk menemukan
apa yang dapat dinamakan penganut Confucianisme yang murni pada masa dinasti
Han. Salah satu kitab Confucianisme terpenting yaotu Catatan-Catatan Mengenai Ketentuan Upacara , dihimpun sejak abad
1 SM dari dokumen yang memiliki usia berbeda. Meskipun begitu kitab ini banyak
mengandung teori-teori yang samar-samar bercorak Legalisme serta Taoisme, dan
memasukkan juga teori-teori tentang yin
dan yang dan kelima
macam daya.
3.4 Buddhisme dan Neo-Confucianisme
Buddhisme lahir di India dan di latar
belakangi dari penghayatan agama Hindu. Namun Buddhisme secara dialektis
betul-betul lain dari Hinduisme. Dalam Buddhisme , dewa-dewi Hinduisme tidal
berperan sama sekali. Dan Buddhisme menolak sistem kasta. Salah satu perbedaan
khas antara Buddhisme dan Hinduisme adalah bahwa Buddhisme berdasarkan sebuah
ajaran bulat dan lengkap, sedangkan kitab-kitab suci Hinduisme berupa berbagai
cerita, ajaran, dan mitos.[2]
Ajaran itu adalah ajaran Sang Buddha (
Sang Tercerahkan) karena memperoleh pencerahan. Ajaran Sang Buddha kemudian
menyempal dalam berbagai aliran seperti Buddhisme Mahayana, Teravada, dan
Tantri. Penghayatan ketuhanan dalam Buddhisme sangat menarik. Sang Buddha
sendiri justru tidak bicara tentang Tuhan dan dalam ajarannya dewa-dewi tidak
memainkan peranan.
Sedangkan Neo-Konfusianisme merupakan filsafat sosial dan
etika menggunakan ide-ide metafisik, beberapa dipinjam dari Taoisme, sebagai
kerangka kerjanya. Filosofi dapat dicirikan sebagai humanistik dan rasionalistik,
dengan keyakinan bahwa alam semesta bisa dipahami melalui akal manusia, dan
bahwa terserah kepada umat manusia untuk menciptakan hubungan yang harmonis
antara alam semesta dan individu.
Neo-Konfusianisme
merupakan upaya untuk menciptakan bentuk yang lebih rasionalis dan sekuler dari
Konfusianisme dengan menolak unsur-unsur takhayul dan mistis dari Taoisme dan Buddhisme yang dipengaruhi Konfusianisme selama dan setelah
Dinasti Han. Meskipun Neo-Konfusius secara kritis dan Taoisme Buddhisme, dua
memang memiliki pengaruh pada filosofi, dan Neo-Konfusius meminjam istilah dan
konsep dari keduanya. Namun, tidak seperti Buddha dan Taois, yang melihat metafisika sebagai katalis untuk pengembangan spiritual, pencerahan
agama, dan keabadian, Neo-Konfusius digunakan metafisika sebagai panduan untuk
mengembangkan rasionalis etika filsafat.
4. ASAS FILOSOFIS SHINTOISME
4.1
Religi Jepang masa
Tokugawa
Pada era ini terjadi pembaharuan dan formalisasi agama. Tokugawa Ieyasu
mengeluarkan dekrit yang menyatakan Budha sebagai agama nasional namun banyak
yang tidak setuju akan hal ini, terutama golongan radikal yang mendukung
Kaisar. Meskipun demikian tidak banyak dari meraka yang menentang secara
terang-terangan karena khawatir akan posisi mereka.
Aliran Buddha yang dijadikan agama
nasional adalah Zen-Buddha. Inti
dari Zen-Buddha ini adalah meditasi mencari pencerahan dalam diri sendiri tanpa
pengaruh hal-hal luar. Tidak terlalu menekankan akan Tuhan, namun lebih kepada
alam sebagai guru. Pembaharuan yang tampak secara jelas terdapat pada falsafah
Jepang. Sistem yang digunakan bakufu menganut aliran Neo-Confusianisme.
Meskipun tidak diakui sebagai agama tetapi tetap saja banyak orang yang memilih
aliran ini sebagai jalan hidup mereka. Prinsip Bushido juga merupakan adaptasi
dari falsafah dasar dalam Confusianisme. Selain pada Neo-Confusianisme, ajaran
Shinto juga mengalami pembaharuan dengan munculnya istilah Sonno Joi.
Sonno joi adalah ungkapan berisikan “Hormati Kaisar, usir orang Barbar
(maksudnya orang Eropa)” Pada titik ini Kaisar diharapkan dapat membimbing
Jepang menuju kejayaan sebagai perwujudan Amaterasu di dunia. Hal ini terjadi
saat kembalinya kekuasaan pada kaisar ketika Tokugawa Yoshinobu menyerahkan
kekuasaan Shogun kepada Kaisar.
Sedangkan yang terjadi pada agama Kristen
adalah “dianggap tidak ada”. Seluruh pengikutnya diburu oleh pegawai
ke-Shogun-an. Lalu muncullah Kakure Kirishitan atau Kristen Tersembunyi.
Kakure Kirishitan ini sedikit mengubah bentuk patung Bunda Maria agar tidak
dicurigai oleh Bakufu. Bentuknya lebih menyerupai Boddhisatva sehingga
sering dikira sebagai salah satu sekte agama Budha.
Pada pertengahan tahun 1630, terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Amakusa Shiro, pemimpin Kakure Kirishitan di
wilayah Shimabara, Nagasaki. Perang ini kemudian disebut Pemberontakan
Shimabara. Hasil dari perang ini adalah kekalahan di pihak Kakure Kirishitan.
Hampir seluruh penganut Kakure Kirishitan tewas ditangan pasukan ke-Shogun-an.
5. PENGARUH FILSAFAT SHINTOISME TERHADAP NEGARA
5.1
Shintoisme dan Negara
Shintoisme merupakan suatu paham keagamaan
yang dianut oleh masyarakat Jepang sampai pada saat ini. Dapat dikatakan juga
bahwa Shintoisme merupakan tradisi keagamaan yang paling kuno dari semua
tradisi keagamaan di Jepang lainnya yang bertumbuh dari sejarah kepercayaan
Jepang.
Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus
dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut
agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek
dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus
dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering
dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri
dengan pensucian.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama
Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang
dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian
(beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas
gunung Fujiyama.
Shintoisme
tidak hanya ditaati oleh masyarakatnya saja. Pemerintah pun diwajibkan untuk
mentaati Shintoisme. Sama halnya dengan masyarakat Jepang yang mewarisi
paham/ajaran ini, pemerintah pun juga mendapatkan posisi yang sama. Bahkan,
tugas pemerintah Jepang lebih besar tanggung jawabnya di bandingkan masyarakat
Jepang. Pemerintah Jepang harus menjadi pelaksana utama dalam Shintoisme.
Tidak
seperti negara-negara lainnya yang dikepalai oleh seorang presiden,
pemerintahan Jepang dikepalai oleh seorang Kaisar. Kaisar inilah yang menjadi
badan resmi bagi Shintoisme. Badan resmi yang mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan dan menjelaskan kehendak dewa-dewi kepada masyarakat Jepang. Dari
hal ini terlihat bahwa Kaisar mempunyai peran yang sangat penting, karena
Kaisar adalah utusan para dewa. Melalui keadaan ini, dapat dilihat Jepang
merupakan pemerintah yang bersifat Theokratis dan Shintoisme mempunyai otoritas
yang tinggi dalam Negara matahari ini
5.2 Shintoisme
dan Ekonomi
Intisari
dari kebijakan ekonomi Konfusian, yang secara rinci berarti dorong poduksi dan
kurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi mengambil dua bentuk utama yaitu bentuk
lahir dan batin. Bentuk batim adalah pembatasan keinginan dan bentuk lahir
adalah pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi ugahari. Dari tinjauan singkat
tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik di atas dapatlah ditangkap
bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah sistem yang seimbang. Satu hal yang
membedakan pandangan ekonomi politik Jepang dari pandangan Cina adalah
penekanannya pada dinamisme satu arah dalam pencapaian tujuan dan pengorbanan
tanpa pamrih dari setiap anggota kolektivitas untuk pencapaian tujuan bersama dari
pada pencapaian harmoni ideal yang statis.
Kebijakan
pemerintah yang mendorong ekonomi sama kuatnya dengan imbauan moral yang
diberikannya. Aturan-aturan gonin-gumi dengan keras memperingatkan orang untuk
tidak bersenang-senang, bermewah-mewah, menenggelamkan diri dalam olahraga
perjudian. Peraturan yang menegcam kemewahan ditempel si setiap papan
pengumuman pemerintah. Peringatan-peringatan tersebut diperkuat oleh hukum yang
secara sistematik mengontrol dan mengatur pengeluaran serta konsumsi orang sehingga
bisa mencegah tindakan bermewah-mewah.
Kota-kota
Jepang pada Era Edo menawarkan banyak godaan dalam hal kemewahan dan hiburan.
Sulit diragukan bahwa dari kalangan kelas pedagang banyak muncul konsumen
kemewahan-kemewahan itu dan penggemar rumah-rumah hiburan, tetapi ancaman
bahaya dari tingkah laku semacam ini muncul di mana-mana sehingga aturan-aturan
rumah pedagang hampir semua bersikap sangat keras terhadapnya. Secara umum
aturan-aturan rumah pedagang menggariskan kehidupan keseharian yang hemat dan
tertib, hampir-hampir asketis. “selalu bersikap hematlah dan hindari
pengeluaran yang tidak bermanfaat”.
Kerja
keras dan sikap ugahari nampaknya merupakan sifat yang umum terdapat di
kalangan kaum tani di seluruh dunia, tetapi kadarnya menjadi sangat berlebihan
di kalangan petani Jepang. Walaupun di satu segi sifat semacam ini di kalangan
petani yang miskin merupakan kebutuhan, namun jelas ini bukanlah satu-satunya
penjelasan untuk Jepang. Sikap hemat sangat kuat didasari oleh tanggung jawab
kepada masyarakat dan keluarga. Sekte-sekte Shinto rakyat yang mempunyai ajaran
etika serupa dengan Shingaku berpengaruh sangat kuat di kalangan kaum petani.
Lingkup rasionalisasi politik tidaklah terlalu besar di desa. Dapat dipastikan
bahwa pertanian yang lebih terdiversifikasi dan efisien berkembang pada Era
Edo, sebagian karena bantuan dan dorongan dari pemerintah, dan bahwa industri
rumah tangga juga mulai berkembang dengan standar kualitas dan
keseragaman yang cukuo tinggi.
5.3 Konsep Shingaku
Shingaku
adalah gerakan keagamaan yang didirikan oleh Ishida Baigan dan dikembangkan
lebih lanjut oleh Teshima Toan , yang terutama
berpengaruh selama periode Tokugawa . Shingaku telah ditandai sebagai
berasal dari Neo-Konfusianisme tradisi, mengintegrasikan
prinsip-prinsip dari Zen Buddhisme . Telah berspekulasi, Shingaku adalah salah satu fondasi budaya bagi
industrialisasi Jepang. Shingaku berkembang di seluruh Jepang hingga akhir
rezim Tokugawa (iklan 1603-1867)
Salah satu yang paling luar biasa dari tujuan gerakan ini adalah bahwa dari
Shingaku atau Ajaran Baru. Sebuah kelas moralis praktis, untuk mengimbangi
kecenderungan yang berlaku zaman spekulasi dan karena Buddhisme melakukannya
sedikit untuk rakyat, mencoba membuat doktrin Konfusius sebuah kekuatan yang
hidup di antara masyarakat.
6. ASAS FILOSOFIS HINDUISME
6.1
Konsep masyarakat dan keadilan
Inti dari semua aliran di Hinduisme
menjelaskan bahwa segala fenomena di Alam Semesta ini bermula dari dua kekuatan
primordial, yaitu Shiva (male) dan Shakti (female). Walaupun
terkadang sering digambarkan dengan konsep Dewa-Dewi, namun pada pengertian yang
sesungguhnya Hinduisme melihat adanya 2 kekuatan yang berkreasi, yang satu
aktif dan yang lainnya pasif. Kekuatan ini merupakan manifestasi dari Brahman
yang pada hakikatnya berada di luar dualisme. Dualisme baru terjadi dalam
tataran Shiva dan Shakti.
Hinduisme melihat fisik-energi-batin sebagai bagian yang saling bertautan, dan merupakan suatu manifestasi kontiniutas dari Shiva dan Shakti, yang pada hakikatnya adalah Shoonya.
Dari sekilas mengenai penjelasan ini, sekiranya Hinduisme juga memegang konsep anatta. Tujuan akhir dari Umat Hindu sendiri juga merupakan pembebasan, namun dikenal dengan istilah moksha. Moksha sering dideskripsikan sebagai kembali bersatunya atman dengan brahman. Namun menilik pada penjelasan sebelumnya, deskripsi ini pun sebenarnya literatur yang mengandung makna personifikasi.
Hinduisme melihat fisik-energi-batin sebagai bagian yang saling bertautan, dan merupakan suatu manifestasi kontiniutas dari Shiva dan Shakti, yang pada hakikatnya adalah Shoonya.
Dari sekilas mengenai penjelasan ini, sekiranya Hinduisme juga memegang konsep anatta. Tujuan akhir dari Umat Hindu sendiri juga merupakan pembebasan, namun dikenal dengan istilah moksha. Moksha sering dideskripsikan sebagai kembali bersatunya atman dengan brahman. Namun menilik pada penjelasan sebelumnya, deskripsi ini pun sebenarnya literatur yang mengandung makna personifikasi.
Orang hindu
menyebut agama mereka sebagai sanatana dharma (dharma abadi). Dharma
dalam teks Hindu memiliki dua arti yaitu:
1.
Berhubungan
dengan hukum dan kebiasaan Hindu dengan definisi yang jelas. Dalam arti ini
dharma tidak sulit dimengerti dan konotasi yang lebih luas adalah agama.
Hindu
menekankan pada keharmonisan. Dalam Tri Hita, yang salah satunya adalah menjaga
keharmonisan antar sesama manusia. Dalam mewujudkan itu, Hindu lebih menekankan
pada instropeksi personal lebih ke diri sendiri dengan melaksanakan Tri Kaya
Parisudha (berpikir,berkata, berbuat yang baik) dan pengendalian Sad Ripu
(enam musuh manusia:kama (hawa nafsu) lobha (kerakusan) krodha (kemarahan) moha
(kebingungan) mada (mabuk) matsarya (iri hati).
Orang
Hindu beranggapan bahwa agama mereka bebas dari pelbagai macam asumsi dogmatik.
Mereka tidak berpikir tentang kebenaran agama dalam terminus dogmatis. Menurut
mereka dogma tidak bersifat abadi tetapi hanya sebagai transit dan
gambaran-gambaran kacau dari kebenaran yang melampaui mereka dan semua deinisi
verbal. Sebab itu kerap merkea membenci agama dengan ajaran dogmatis yang
didasarkan pada kepercayaan tertentu (creedal religion).
Dengan keterbukaan pikiran yang
merupakan sifat dan filsafat, orang Hindu percaya akan relativitas dari
keyakinan mayarakat umum yang memeluk keyakinan itu. Agama bukanlah sekedar
teori mengenai yang supernatural yang dapat kita pakai atau kita tinggalkan
semau kita. Agama merupakan pernyataan dari pengalaman spiritual dari bangsa
yang bersangkutan, catatan dari evolusi sosialnya, bagian tak terpisahkan dari
suatu mayarakat di atas di mana ia didirikan. Bahwa orang yang berbeda akan
memeluk keyakinan yang berbeda, bukanlah sesuatu yang tidak alamiah. Ini adalah
semua masalah cita rasa dan temperamen. Ruchinan vaichitriyat. Ketika bangsa
Arya bertemu dengan penduduk asli yang menyembah berbagai macam dewa-dewa,
meraka merasa tidak terpanggil untuk menggantikannya seketika itu dengan
keyakinan mereka. Pada akhirnya semua manusia mencari Tuhan yang satu. Menurut
Bagawad Gita Tuhan tidak akan menolak keinginan pemuja-Nya semata-mata karena
mereka tidak merasakan kekacauan dan kebingungan. Guru-guru besar dunia yang
memiliki cukup penghormatan terhadap sejarah tidak akan mencoba menyelamatkan
dunia dalam generasi mereka dengan memaksakan pertimbangan-pertimbangan mereka
yang maju terhadap mareka yang tidak mengerti atau menghargainya.
7. PENGARUH HINDUISME TERHADAP NEGARA
7.1 Konsep Kekuasaan
Agama
Hindu adalah sebuah agama yang berasal dari anak
benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme)
yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini
diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama
tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama
ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah
umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar
terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90%
penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia
Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit.
Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada
masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga
yang tersebar di pulau Jawa,Lombok, Kalimantan
(Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Eksistensi
negara dalam pamikiran Hindu menekankan fungsionalisasi dari negara itu—dalam
bentuk kongkritnya adalah pemerintah--agar mampu melindungi dan mengatur
ketertiban masyarakat. Ini berati Hindu mengakui pentingnya kedua entitas,
negara dan masyarakat. Pemikiran Hindu tentang negara ini memiliki relevansi
dengan teori-teori demokrasi yang meyakini pentingnya keberadaan negara dalam
hubungannya dengan masyarakat. Tiada demokrasi tanpa negara.
Menurut penulis, pemikiran Hindu ini
memberikan pandangan negara yang relatif moderat sehingga mencegah kita
melompat-lompat dari perspektif ekstem “kanan” ke ekstrem “kiri”.
Liberalisme-kapitalis, melulu menekankan hak-hak individu dalam perkembangannya
“mempreteli” kekuasaan negara, sedangkan komunisme semata-mata memberikan
kewenangan mutlak pada negara untuk mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat
sehingga cenderung menjadi otoriter seperti penah dipraktekkan negara-negara
komunis. Boleh jadi kita sedang menuju suatu keadaan dimana negara memiliki
suatu derajat otonomi yang relative sifatnya. Sekalipun dalam kenyataan hidup
bernegara sering dijumpai penindasan oleh kelompok yang kuat terhadap yang
lemah, namun negara senantiasa dituntut untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan warga negara.
8. ASAS FILOSOFIS POLITIK ISLAM
8.1
Sumber Ajaran politik Islam
Mengamati
berbagai persoalan yang berkembang akhir-akhir ini, khususnya dalam bidang
politik Islam, dan jika kita mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa
sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis, dan rasional akan menunjukkan
Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan, porsi politik dalam ajaran Islam
sangatlah kecil. Itu pun berkaitan langsung dengan kepentingan banyak orang
yang berarti kepentingan rakyat kecil (kelas bawah di masyarakat), bukan pada
tataran model-model politik.
Karena
itu, jelas pulalah bahwa politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Dan,
sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar
manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan
negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar
agama.
Pemerintahan
yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah diturunkan Allah dari
langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum muslimin untuk menjamin
kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan mereka untuk memikirkan
usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan keadilan.
Al-Quran
sebagai sumber ajaran umat dan pertama agama islam mengandung ajaran tentang
prinsip-prinsip dasar yang harus diaplikasikan dalam pengembangan sistem
politik islam. Prinsip-prinsip dasar politik islam tersebut adalah:
1. Kemestian mewujudkan persatuan dan
kesatuan umat
2. Keharusan bermusyawarah dalam
menyelesaikan masalah-,masalah ijtihadiyyah
3. Kemestian mentaati Allah dan
rasulullah dan ulil Amr (pemegang kekuasaan)
4. Keharusan menunaikan amanat dan
menetapkan hukum secara adil
5. Kemestian mendamaikan konflik antar
kelompok dalam masyarakat islam
6. Kemestian mempertahankan kedaulatan
negara dan larangan melakukan agresi dan invasi
7. Kemestian mementingkan perdamaian
daripada permusuhan
8. Keharusan meningkatkan kewaspadaan
dalam bidang pertahanan dan keamanan
9. Keharusan menepati janji
10. Keharusan mengutamakan perdamaian di
antara bangsa-bangsa
11. Kemestian peredaran harta pada
seluruh lapisan masyarakat
12. Kemestian mengikuti prinsip-prinsip
pelaksanaan hokum
Sementara itu dalam Islam konsep politik adalah konsep
yang menyeluruh, komprehensif, integral serta bukan hanya masalah kekuasaan
belaka. Islam memandang politik sebagai sebuah “cara” dan bukan “tujuan”.
Konsep ini didasari oleh akidah yang kokoh dengan berpegang pada manhaj
yang pernah ditempuh oleh Rasul, shahabat, dan para tabi’in.
8.2 Dasar-dasar politik Islam
Konsep pertama adalah mengenai imâmah (kepemimpinan). Pengangkatan
pemimpin yang amanah dan ketaatan rakyat kepada pemimpin adalah konsep politik
Islam yang pokok. Para ulama mengatakan bahwa al-Nisa: 58 di atas diturunkan
untuk para pemimpin pemerintahan (waliyy al-amri), agar mereka menyampaikan
amanat kepada ahlinya. Ayat berikutnya,
Wahai orang-orang
yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil
amri dari golonganmu! Kemudian jika engkau berselisih dalam masalah
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika engkau benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Akhir! Yang demikian itu lebih utama bagimu dan
lebih baik akibatnya.
Ayat ini ditujukan kepada rakyat agar taat kepada pemimpinnya dalam hal
pembagian, putusan hukum, dsb. Kewajiban untuk taat kepada ulil amri
itu gugur (tidak berlaku) bila mereka memerintahkan rakyatnya berbuat maksiat
kepada Allah swt. Oleh karena itu, “tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam perbuatan maksiat kepada sang Pencipta (khâliq).”
Konsep kedua adalah syûrâ (konsultasi) atau musyawarah. Allah
berfirman di dalam al-Quran,
Maka karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka,
mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya. (Ali
Imran: 159).
Konsep ini menuntun bagi sebuah proses pengambilan keputusan atau kebijakan
dari seorang pemimpin dl menjalankan pemerintahannya. Syûrâ—di bawah
akan saya komparasikan dengan konsep demokrasi—menjadi ruh yang sangat penting
bagi partisipasi ummat dalam penentuan kebijakan.
Konsep ketiga mengenai ‘adalah (keadilan). Allah berfirman di
dalam al-Quran,
Sesungguhnya Allah
menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan” [al-Nahl: 90].
Keadilan dan kesetimbangan (balance) dalam menentukan kebijakan
merupakan prinsip yang dikedepankan dalam politik Islam. Sistem Islam
mengedepankan keadilan dalam inti ajarannya.
Beberapa orang mengira, bahwa politik adalah sebuah aib.
Terlibat kekuasaan merupakan cela. Dan tidak boleh seorang ‘ulama
merangkap jabatan sebagai umarâ (birokrat). Dua posisi itu seakan
kutub tak tergabungkan. Bagi sebagian kalangan kaum muslimin, parlemen menjadi
mimbar haram untuk berdakwah, terlebih di negara-negara yang tidak memakai
Islam sebagai sistem bernegara. Banyak penguasa zalim yang memegang posisi di
negara itu. Jika merujuk pada khazanah klasik, kita menjumpai ijtihad
yang menarik dari para ulama. Ibnu Taimiyah—yang digelari mujtahid muthlaq
oleh para ulama—berkata,
Segala puji bagi Allah. Jika ia berusaha berbuat adil dan
menyingkirkan kezaliman menurut kesanggupannya dan kekuasaan itu mendatangkan
kebaikan dan maslahat bagi orang-orang muslim daripada dipegang orang
lain, ia diperbolehkan memegang kekuasaan itu dan dia tidak berdosa karenanya.
Bahkan jabatan itu lebih baik daripada berada di tangan orang lain dan menjadi
wajib jika tidak ada orang lain yang sanggup memegangnya.
Ibnu Taimiyah menyarankan agar kaum muslimin berusaha
masuk dalam sistem kekuasaan. Melalui mekanisme yang disepakati, baik itu
penerapan demokrasi: pemilu, parlemen, dsb. Sehingga kekuasaan ada di tangan.
Dalam kondisi yang sangat mendesak, dimana tidak ada di antara kaum muslimin
yang mampu duduk di pemerintahan, terdapat pandangan dari Imam Izzudin bin
Abdus Salam,
Jika orang kafir menjadi pemimpin suatu wilayah yang
luas, lalu mereka melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dapat mendatangkan maslahat
bagi orang-orang mukmin secara umum, keadaan itu dapat dijalankan karena
mendatangkan maslahat secara umum dan menyingkirkan mafsadat—sekalipun
jauh dari rahmat syariat—karena memang orang yang memiliki kesempurnaan dan
layak diserahi kekuasaan itu tidak ada.
9. SISTEM NEGARA ISLAM
9.1
Kedudukan Ulil Amri (Imam/Pemimpin)
Pemerintah
dalam Islam disebut juga khalifah. Yakni khalifah Allah. Artinya, pengganti
Allah atau wakil Allah di bumi. Mereka bertanggung jawab terhadap rakyat untuk
menjalankan kerja-kerja yang Allah perintahkan. Yakni berkhidmat kepada rakyat,
memimpin, mendidik, mengajar, mengelola, mengurus, menyelesaikan masalah
rakyat, membangun kemajuan negara dan masyarakat. Allah menginginkan semua
hamba-hambaNya dipimpin dan diurus dengan baik agar semuanya mendapat
pelayanan dan hak-hak yang sepatutnya mereka dapat dari Allah SWT di dunia ini.
Untuk itu, segala harta benda dan khazanah perbendaharaan negara diserahkan ke
dalam tangan mereka. Supaya dibagikan dengan adil dan disediakan segala keperluan
rakyat dan negara. Hingga negara berada dalam keadaan aman, makmur dan mendapat
keampunan Allah.
Menurut
umat Islam ahli hukum dan adil merupakan syarat dan rukun asli bagi seorang
pemimpin, sementara syarat-syarat lain hanya sebagai pelengkap seperti ilmu
tentang malaikat dan sifat-sifat Allah. Dua ilmu ini tidak punya hubungan
dengan masalah kepemimpinan. Begitu juga bila seseorang menguasai ilmu fisika
dan berhasil menyingkap seluruh potensi yang dimiliki alam atau seseorang yang
menguasai musik tidak serta merta membuatnya layak memimpin. Penguasaan
terhadap hal-hal demikian tidak membuatnya lebih didahulukan dalam urusan
kepemimpinan dari orang yang mengetahui undang-undang Islam sekaligus adil.
Karena
pemerintah adalah pengganti Allah dalam menjalankan keadilan di kalangan
manusia, maka Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya agar taat pada
pemerintah sesudah ketaatan pada Allah dan Rasul. Inilah firmanNya:
Wahai
mereka yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan yang mempunyai kuasa di
kalangan kamu (kaum muslimin). (An Nisa' 59)
Ketaatan
kepada ulil amri yang adil, yang benar-benar mewakili atau mengganti Allah
mengurus bumi, adalah penting supaya hukum-hukum Allah yang hendak dijalankan
dalam negara dapat berjalan dengan baik. Dan kehidupan hamba-hambaNya dapat
diurus dengan baik. Terhadap rakyat yang memiliki watak keras kepala dan
melawan perintah, pemerintah dibenarkan menghukum mereka untuk mengkawal
kebaikan dalam masyarakat. Dengan syarat kesalahan itu betul-betul kesalahan
yang diiktiraf oleh syariat. Pemerintah tidak boleh membuat hukum dan
undang-undang sendiri dengan tidak menghiraukan undang-undang dan hukum Allah.
Jika didapati pemerintah tidak menghiraukan hukum Allah, maka akan jatuh kepada
hukum baik fasiq, zalim atau kafir. FirmanNya:
"Barangsiapa
yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka adalah orang fasiq."
(Al Maidah: 47)
Kalau
pemerintah sudah tidak taat dengan Allah, maka dalam keadaan itu rakyat tidak
lagi wajib taat pada ulil amri (dalam perkara yang bertentangan dengan
syariat). Rasulullah SAW bersabda:
"Tiada
ketaatan kepada seorang makhluk dalam hal mendurhakai Allah. "
Karena
di tangan mereka ada kekuasaan, kekuatan dan kekayaan negara, maka para ulil
amri itu bebas untuk melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan atau kejahatan.
Tergantung kepada beriman atau tidaknya mereka. Pemerintah yang beriman akan
berjaya menjadi penguasa yang adil seperti yang Allah perintahkan. Tapi
pemerintah yang tidak beriman atau lemah imannya akan menyalahgunakan kuasa dan
harta negara untuk kepentingan nafsu mereka.
Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan
sekadar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa
Arab, jika istilah ulil amri itu dicelahi idiom min (dari/bahagian) menjadi
ulil minal amri, maka artinya akan merujuk kepada pemimpin-pemimpin
dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll).
Sedangkan
kewajipan pemimpin tersebut untuk hanya menerapkan syariat Islam saja, tidak
syariat yang lain, ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam Hadis riwayat Bukhari,
Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Ubadah bin
ash-Shamit:
"Kami
membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka
maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak
mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak
merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau
kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang
dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah’."
10. TINJAUAN SEJARAH KAJIAN POLITIK ISLAM
10.1
Kajian Fiqh Siyasah dan perkembangannya
Fiqih Siyasah adalah bukan kajian yang
baru di antara ilmu pengetahuan yang lainnya, keberadaan Fiqih Siyasah sejalan
dengan perjalan agama Islam itu sendiri. Karena Fiqih Siyasah ada dan
berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya
Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah, pembentukan pembendaharaan
Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan Imama, taktik pertahanan
Negara dari serangna musuh yang lainnya. Pembuatan kebijakan bagi kemaslahatan
masyrakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu semua dipandang sebagai
upaya-upayah siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran yang adil, memberi
makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Semua proses tersebut merupakan langkah
awal berkembangnya kajian fiqih siyasah, dimana fiqih siyasah menerimah dengan
tangan terbuka apa yang datang dari luar selama itu untuk kemaslahatan bagi
kehidupan umat. Bahkan menjadikannya sebagai unsur yang akan bermamfaat dan
akan menambah dinamika kehidupannya serta menghindarkan kehidupan dari kekakuan
dan kebekuan.
Objek
kajian fiqh siyasah adalah tentang hubungan antara masyarakat dan rakyatnya
dalam upaya menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatn bersama. Hubungan ini
meliputi masalah-masalah kebijaksanaan perundang-undangan, hubungan luar negeri
dalam masa damai dan perang serta kebijaksanaan keuangan dan moneter. Dalam
sejarah islam, siyasah telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad setelah beliau
berada di Madinah. Di sini Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, sebagai Rasul
utusan Allah dan sebagai kepala negara Madinah. Setelah beliau wafat, fungsi
kedua ini dilanjutkan oleh al Khulafa’al-Rasyidun.
1. Periode Klasik
Ciri yang menandai perkembangan kajian
fiqh siyasah pada periode klasik adalah kemapanan yang etrjadi di dunia Islam. Secara politik,
Islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas inetrnasional. Pada periode
ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani Umaiyah (661-750 M) dan Bani Abbas
(750-1258 M).
pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, kajian fiqh siyasahmasih belum
muncul. Bani Umaiyah lebih mengarahkan kebijaksanaan politiknya pada pengembangan
wilayah kekuasaan. Memang ada kelompok oposisi, seperti Khawarij dan Syi’ah
pada masa ini, tetapi tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Pemikiran-pemikiran
dan gerakan meereka pun cenderung radikal dan ekstrem dalam menentang kekuasaan
Bani Umaiyah. Pada masa daulat Bani Abbas barulah kajian fiqh siyasah ini mulai
dikembangkan. Namun demikian, kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang
dikembangkan oleh para ulama ketika itu cenderung mendukung kekuasaan. Inilah
yang terjadi di kalangan ulama Sunni pada umumnya.
2. Periode Pertengahan
Periode pertengahan ditandai dengan
hancurnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di tangan tentara Mongol. Pada masa
ini kekuatan politik islam mengalami kemunduran. Karena itu,
kecenderungan pemikiran Islam mengalami kemunduran. Tokoh yang mengalami langsung
tragedi penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah Ibn Taimiyah (1263-1328
M). Ibn Taimiyah mempunyai pemikiran siyasah yangs edikit berbeda dengan
pemikir Sunni abad klasik. Berbeda dengan Sunni pemikir sebelumnya, Ibn
Taimiyah tidak memandang institusi imamah sebagai kewajiban Syar’I, tetapi
hanya kebutuhan praktis saja. Ibn Taimiyah oun tidak mengungkapkan secara tegas
syarat Quraisy sebagai kepala negara. Ia hanya menegaskan dua syarat untuk
menjadi kepala negara, yaitu kejujuran (al-amanah) dan kewajiban atau kekuatan
(al-quwwah). Kedua hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan
kedua syarat ini akan tercipta keadilan dalam masyarakat yang merupakan
cita-cita dan tujuan utama syari’at islam.
Pemikir Sunni lainnya yang juga
membahas siyasah adalah Ibn Khaldun (1332-1406 M). Pandangan politiknya antara
lain tertuang dalam karyanayy Muqaddimah. Di antara tesisnya yang
ebrbeda dengan pemikir Sunni lainnya adalah interprestasinya yang kontekstual
terhadap hadis Nabi yang mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Ia
menganggap hadis ini bersifat kondisional. Karenanya, suku mana saja memegang
posisi puncak pemerintahan islam, selama ia mempunyai kemampuan dan kecakapan.
Jadi syarat suku Quraisy bagi Ibn Khaldun bukanlah “harga mati”.
Pemikir islam lainnya yaitu Syah
Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M). syah Waliyullah membenarkan pembakangan
rakyat terhadap kepala negara yang tiran dan zalim. Syah Waliyullah bahkan
menegaskan bahwa pemerintahan pada periode pasca al0khulafa’al-rasyidun hanyalah
berbeda sedikit saja dari kerajaan Romawi dan kekaisaran Persia.
3. Periode
Modern
Periode
modern ditandai dengan oleh semakin lemahnya dunia Islam di bawah penjajahan
bangsa-bangsa Barat. Hampir seluruh negeri muslim berada di bawah imperialisme
dan kolonialisme Barat. Dalam lapangan politik, sikap pertama melahirkan aliran
yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur segala
aspek kehidupan manusia, termasuk politik dan kenegaraan. Sikap kedua
melahirkan aliran yang berpandangan bahwa Islam hanya memberikan seperangkat
tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Sedangkan sikap
ketiga melahirkan aliran sekularisme yang memisahkan kehidupan politik dari
agama. Pemikiran inilah yang selanjutnya berkembang hingga masa kontemporer.
Menurut pemikir tokoh-tokoh aliran
pertama meereka memandang Islam sebagai sueprmarket yang menyediakan segala
kebutuhan hidup manusia dan manusia tinggal hanya melaksanakan saja
ketentuan-ketentuan tersebut. secara umum pemikir-pemikir kelompok pertama ini
juga masih mendambakan adanya negara universal yang menyatukan seluruh dunia
Islam. Selain itu mereka memandang Barat sebagai musuh Islam.
Oleh sebab itu,
segala yang datang dari barat ahrus ditolak, karena tidak sesuai dengan
kepribadian Islam. Pemikir kelompok kedua yaitu Ali ‘Abd al-raziq memandang
bahwa Islam tidak mempunyai tata aturan tentang politik. Nabi Muhammad SAW diuts tidak lain
hanyalah untuk menjadi rasul dan tidak berpretensi utnuk membentuk negara dan
kekuatan politik. Menurut Thaha Husein, supaya Mesir dan umat Islam umunya
dapat meraih kemajuan, makam jalan satu-satunya adalah dengan meniru dan
mengadopsi peradaban barat. Sedangkan menurut pemikir ketiga yaitu Abduh
berpendapat bahwa kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan
diberhentikan oleh manusia.
Abduh menambakan, Islam juga mengatur hukum-hukum
tentang masalah-masalah hubungan antar manusia. Agar hukum tersebut berjalan
secara efektif, maka diperlukan pemimpin atau kepala negara yang akan melaksanakan
dan megawasi pelaksanaannya. Namun deikian, kepala negara tersebut bukanlah
wakil Tuhan, melainkan hanya pemimpin politik. Karenanya, ia tidak memiliki
kekuasaan keagamaan seperti dalam agama Kristen.
11. NEGARA ISLAM
11.1 Ketatanegaraan
dalam sejarah Islam
Dalam
praktek kenabiannya, Nabi Muhammad telah melaksanakan kedua dimensi yang diatur
dalam islam yaitu dimensi hubungan antara manusia dengan Tuhan dan dimensi
antara sesama manusia. Kedua dimensi itu berhasil dilaksanakan dengan baik.
Dalam dakwahnya kepada masyarakat Mekah, bukan saja aspek akidah dan ibadah
yang ditekankan, tetapi aspek social seperti keadilan juga ditekankan. Islam
sebagai ajaran agama mengedepankan persamaan harkat dan martabat di hadapan
Tuhan.
Islam
dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad menghadapi banyak tekanan dan perlawanan
antara lain dari kaum Quraisy yang mengakibatkan hujrahnya Nabi Muhammad ke
Madinah. Di Madinah mereka diterima oleh kalangan masyarakat setempat yang
dibuktikan dengan peristiwa Bai’ah al-’Aqabah pertama dan kedua. Kedua
peristiwa ini merupakan titik awal berdirinya negara Madina menjadi kekuatan
politik yang kokoh, solid dan disegani.
Negara
Madina dipimpin oleh Nabi Muhammad sebagai kepala negara dan piagam Madinah
sebagai konstitusinya. Pembentukan negara Madina menjadi awal dimulainya system
ketatanegaraan dalam sejarah islam. Negara Madina dapat dikatakan sebagai
sebuah negara karena telah memenuhi syarat pendirian sebuah negara yakni
wilayah, rakyat, pemerintah dan undang-undang dasar. Dalam piagam Madina telah
diatur mengenai persatuan umat islam dan hubungan dengan komunitas non-Islam.
Piagam Madina menggambarkan sifat kepemimpinan Nabi yang mengakomodasi
kepentingan umat beragama lain dan menciptakan persatuan bersama.
Pada
masa kepemimpinan Nabi Muhammad, kepentingan umat beragama lain ( Yahudi )
sangat dihargai dan diberikan kebebasan beragama. Nabi menjalin hubungan yang
baik dengan orang Yahudi, namun kerukunan itu dirusak oleh pemberontak kaum
Yahudi sendiri yang takut akibat semakin berkembangnya pengaruh Islam. Satu
demi satu suku Yahudi berkhianat tehadap piagam Madinah dan mulai menyerang
serta meneror umat islam. Mereka bahkan melakukan percobaan pembunuhan terhadap
Nabi. Tetapi, ada juga suku yahudi yang masih setia terhadappiagam Madina dan
Nabi memperlakukan mereka dengan baik.
Pigam Madinah dapat dikatan sebagai kontrak social antara Nabi dan masyarakat Madina pada saat itu. Masyarakat menempatkan Nabi sebagai pemimpin mereka oleh karena iut Nabi harus dapat melindungi dan mengayomi masyarakat. Dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan tidak hanya terpusat ditangan Nabi saja. Dalam memecahkan beberapa kasus, biasanya Nabi Muhammad berkonsultasi dengan pemuka masyarakat
Dalam
menjalankan roda pemerintahan negara Madina, Nabi Muhammad tidak memisahkan
antara kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Muhammad menjalankan
kekuasaan dibawah naungan Al-Quran. Untuk politik dalam negeri, Nabi Muhammad
berusaha menciptakan persatuan dalam bidang Internasional, menjalin hubungan
diplomatic dengan negara lain dan menempatkan serta nemerima duta ke dan dari
negara sahabat.
Dalam memimpin negara Madinah, Muhammad bukan
hanya menjalankan tugas spiritual sebagai rasul tetapi memiliki kekuasaan
politik sebagai kepala pemerintahan. Dilihat dari sumber kekuasaannya negara
Madinah dapat dikatan sebagai negara teokrasi dalam menjalankan kekuasaannya,
sitem pemerintahannya dapat dikatakan demokratis dengan mengadakan
pendelegasian dan pembagian kekuasaan.
12. TEORI NEGARA DALAM ISLAM
12.1
Pemikiran Sunni
Sunni sebutan pendek Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah, adalah nama sebuah aliran pemikiran (school of thought)
yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah (the follower of the sunnah),
yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan sahabat-sahabatnya,
sebagaimana dilukiskan dalam hadits: “Ma ana ‘alaih wa ashabi” yang berarti jama’ah berarti mayoritas, sesuai
dengan tafsiran Sadr al-Sharih al-Mahbubi, yaitu ‘ammah al-muslimun (umumnya
umat Islam) dan al-jama’ah al-kathir wa al-sawad al-’azm (jumlah besar dan
khalayak ramai).
Dalam
pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi
memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang
sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.
Pokok-pokok pemikirannya adalah seputar
masalah: imam, pemimpin. Lambton, berdasarkan risetnya atas pemikiran Abu
Yusuf, al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali, dan Fahr al-Din
al-Razi, berkesimpulan bahwa seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada
seorang imam sebagai pemimpin kaum beriman, dan tidak ada otoritas atau
kekuatan yang dianggap sah kecuali dilaksanakan sebagai hasil delegasi darinya,
baik langsung maupun tidak.
Kaum sunni pada dasarnya adalah kelompok
yang ikut andil besar dalam menggulingkan daulah Amawiyah dan mendukung
kepemimpinan Bani ‘Abbasiyah bersama golongan Khawarij, Syi’ah dan orang-orang
non Arab. Sehingga mereka harus bersaing dengan kelompok Syi’ah (yang
didominasi orang-orang Persia) dalam memperoleh akses kekuasaan ketika bani
‘Abbasiyah berkuasa.
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, hubungan
Sunni dan Mu’tazilah adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama
pada saat paham Mu’tazilah dijadikan paham negara al-Ma’mun dan al-Mu’tasim.
Pada saat itulah dipaksakanlah keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk
(Mihnah/ujian aqidah/inkuisisi) bagi setiap orang Islam dengan segala resiko
bagi yang tidak mengikutinya. Akibatnya banyak diantara ulama yang semula
bersikap menolak, terpaksa harus menerimanya. Ahmad ibn Hanbal dan Muhammad Nuh
adalah sebagian kecil dari kaum ulama yang bersikeras tetap menolaknya.
Persilihan antara golongan ahl-al-Hadits (Sunni) dengan Mu’tazilah yang semula
dilatarbelakangi isu-isu teologis berubah menjadi kepentingan politik untuk
memasyarakatkan ideologinya. Konflik itu oleh W. Montgomery Watt disebut
sebagai konflik antara kelompok Autokritik (Mu’tazilah) dengan kelompok
Konstitusionalis (Sunni).
12.2
Pemikiran Syi’ah
Syi’ah lahir sebagai reaksi mayoritas
kelompok sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad telah mendominasi dalam
percaturan politik Islam. Mereka menganggap bahwa yang berhak memegang
kekuasaan politik setelah Nabi wafat adalah Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah
binti Rasulullah, dan keturunanya. Kelompok Syi’ah mengemukakan hadits untuk
memperkuat adanya wasiat Nabi tentang kekhalifahan Ali, beberapa hari sebelum
Nabi wafat dan kesehatan Beliau sudah mulai menurun.
Syiah terpecah dalam berpuluh-puluh
kelompok. Perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor, karena perbedaan
prinsip dan ajaran yang berakibat timbulnya kelompok yang ekstrem (Al-Ghulat)
dan kelompok moderat; karena perbedaan pendirian tentang siapa yang menjadi
imam setelah sepeninggalnya Husein bin Ali, imam ketiga, sesudah Ali Zainal bin
Abidin, imam keempat, dan sesudah Ja’far Shaddiq, imam keenam. Dari
kelompok-kelompok tersebut yang paling terkenal adalah Zaidiyah, Ismailiyah,
Itsna Asyariyah. Ismailiyah dan Itsna Asysriyah termasuk Syi’ah Imamiyah.
Diantara kelompok syi’ah yang paling
ekstrem adalah Al-Sabaiyah yang menganggap Ali adalah Tuhan. Pemimpin kelompok
ini adalah Abdullah bun Saba. Ada pula kelompok yang berkeyakinan bahwa Jibril
telah berbuat salah memberikan wahyu pada Muhammad, seharusnya wahyu tersebut
diberikan kepada Ali, dua kelompok ini dianggap telah keluar dari Islam.
Dalam buku Ensiklopedi Islam, paham atau
ajaran Syi’ah memiliki sejumlah doktrin penting yang terutama berkaitan dengan
masalah Imamah, yang antara lain:
1. Ahlulbait (Ahl al-Bayt). Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam istilah tersebut khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad SAW. Ada tiga pengertian ahlulbait; Pertama, mencakup istri-istri Nabi dan seluruh bani Hasyim; Kedua, hany bani Hasyim; dan Ketiga, hanya terbatas pada Nabi sendiri, Ali, Fatimah, Hasan, Husein, dan Imam-imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam ajaran Syi’ah bentuk yang terakhirlah yang lebih popular.
1. Ahlulbait (Ahl al-Bayt). Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam istilah tersebut khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad SAW. Ada tiga pengertian ahlulbait; Pertama, mencakup istri-istri Nabi dan seluruh bani Hasyim; Kedua, hany bani Hasyim; dan Ketiga, hanya terbatas pada Nabi sendiri, Ali, Fatimah, Hasan, Husein, dan Imam-imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam ajaran Syi’ah bentuk yang terakhirlah yang lebih popular.
2. Al-Bada. Dari segi bahasa bada berarti tampak. Doktrin
al-bada adalah keyakinan bahwa Allah SWT mampu mengubah sesuatu
peraturan atau keputusan yang telah
ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah,
perubahan keputusan Allah SWT itu bukan karena Allah baru mengetahui
sebuah maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui-Nya.
3. Asyura,
yang artinya sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram
yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati
wafatnya Imam Husein bin Ali dan keluarganya di tangan Yazid bin Muawiyyah pada
tahun 61 H di Karbala Irak.
4. Mahdawiyyah.
Mahdawiyyah berasal dari kata Mahdi, yang berarti keyakina akan datangnya
seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia
di muka bumi ini. Juru selamat ini disebut Imam Mahdi.
5. Taqiyah
(dissimulation) Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau
ittaqa yang artinya takut.
Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir
akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung
sikap penyembunyian identitas dan ketidak terusterangan.
6. Marjaiyyah (sering disebut Marja
Taqlid). Berasal dari kata marja yang artinya
tempat kembalinya sesuatu, sedangkan dalam pengertian Syi’ah marja taqlid
berarti sumber rujukan. Menurut Syi’ah Imamiyah, selama keghaiban Imam
Mahdi, kepemimpinan umat terletak pada pundak para fukaha, baik dalam persoalan
keagamaan maupun dalam urusan kemasyarakatan. Para fuqaha-lah yang seharusnya menjadi
pucuk pimpinan masyarakat termasuk dalam persoalan kenegaraan atau
politik. Doktrin marjaiyyah ini erat kaitannya dengan konsep wilayatul faqih (pemerintahan
faqih)
7. Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah
keyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat harus ada pemimpin-pemimpin
Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Dalam Syi’ah kepemimpinan
ini mencakup persoalan keagamaan dan kemasyarakatan Imam bagi mereka
adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat.
8. Doktrin-doktrin lain seperti, Ismah (menjaga), Rajah
(pulang/ kembali), Tawassul (memohon), dan Tawali (mengangkat) atau Tabarri
(menjauhkan diri).termasuk dalam doktrin-doktrin yang di anut oleh kaum Syi’ah.
12.3
Pemikiran Khawarij
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan
mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali
bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab
Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang
memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim
yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di
Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok
yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim
atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn
Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat
Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan
besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim
dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka
telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih
sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit
menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para
pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang
ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat
kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi
kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan
Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka
cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh
Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni
maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada
enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan
mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal
membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak –
hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan
khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana
pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al –
Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada
pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada
masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum
Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang
disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama, pengangkatan
khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan
dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada
jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari
kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang
berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan
khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy
sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan
menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij
bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila
seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk
dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan
keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal
dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat
dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam
menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya
bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban
berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang
berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang
lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu
bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan
Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu
berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka
siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang
selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan
pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan
manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang
sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura
untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan
kedemokrasian klompok ini.
12.4 Pemikiran
Politik Mu’tazilah
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan
gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan
politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam
internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan
Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara
Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang
penilaian orang yang berbuat banyak dosa dalam referensi lain disebutkan orang
yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali
asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka
namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya
berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan
situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah
kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar
yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga
khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas
mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala
negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala
negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat
Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara,
menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia
mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat
Islam sendiri.
13. KONSEP PENTING PEMERINTAHAN ISLAM
13.1 Imamah
dan Negara
Secara linguistik kata imamah
berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti pimpinan atau
orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu Mandzur mengartikanya dengan setiap orang
yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat baik dalam
menempuh jalan kebaikan atau kesesatan. Sedangkan secara istilah para pakar
hukum Islam mendefinisikan dengan beragam. Al Mawardi memposisikan al-imamah
sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah agama
serta urusan keduniaan.
At Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi
negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan. Ibn
Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia yang
sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia
dan akhirat. Hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia dikembalikan
pada pertimbangan dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat. Dari beberapa
definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam
negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan
sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi
umat di dunia dan akhirat.
Kata imamah, amirul mukminin, dan khalifah mempunyai bentuk satu arti yaitu
suatu jabatan tertinggi dalam suatu negara. Sejarah telah membuktikan bahwa
Rasulullah, para Shahabat dan Tabi’in tidak membedakanya. Oleh sebab itu para
ulama fiqih juga tidak memisahkan ketiga istilah tersebut, sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh imam Nawawi dan Ibn Khaldun.
Dalam mendefinisikan Negara Islam para ulama mempunyai
dua pandangan yaitu:
a.
Negara Islam harus berdasarkan pada perlaksanaan hukum Islam dan sistemnya.
b. Negara Islam diasaskan
kepada keadaan keamanan Muslim dan kawasannya.
Kalau orang Muslim mendapat
keamanan sebagaimana keamanan negara Islam pada periode maka Negara itu adalah negara Islam. Berdasarkan pada
pendapat yang kedua ini dalam menentukan negara Islam hanya ditentukan atas
unsur mayoritas bilangan Muslim, walaupun undang-undang dan sistem Islam tidak
terlaksana.
13.2
Ahl al-hall wa al-‘Aqd
Secara
bahasa Ahl al-hall wa al-‘Aqd memiliki pengertian
”orang-orang yang melepas dan megikat” atau ”orang yang dapat memutuskan dan
mengikat”.Sedangkan menurut para Ahli fiqih siyasah, Secara bahasa Ahl al-hall
wa al-‘Aqd memiliki pengertian ”orang-orang
yang melepas dan megikat” atau ”orang yang dapat
memutuskan dan mengikat”.
Pada
masa pemerintahan Umar bin Khattab lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd lebih dikenal
dengan sebutan Ahl al-syura. Lembaga Ahl al-syura pada masa itu oleh para
sahabat digunakan sebagai media untuk memilih pengganti kepala negara dan
bermusyawarah untuk merumuskan arah kebijakan negara. Yang menjadi anggotanya
adalah para sahabat senior yang ditunjuk oleh khalifah untuk membantunya dalam
merumuskan kebijakan dan menjalankan roda pemerintahan. Musyawarah yang
dilakukan oleh para sahabat adalah usaha untuk menjaga tradisi yang dilakukan
oleh nabi Muhammad sekaligus menjalankanperintah Al-Qur’an yang mengganjurkan
kepada manusia untuk melakukan musyawarah apabila ada permasalahan publik yang
membutuhkan solusi dan pemikiran cemerlang dari para Ahli.
Nabi
Muhammad semasa hidupnya gemar melakukan musyawarah dengan para sahabatnya
dalam menyelesaikan permasalahan umat baik itu permasalahan ekonomi, politik
dan strategi perang. Musyawarah merupakan media untuk
mengambil kebijakan untuk menghindari prilaku yang otoriter dan
sewenang-wenang. Dengan musyawarah masyarakat akan puas terhadap
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah
13.3
Wizarah
Kata “wizarah” terambil dari kata
al-wazr yang berarti al-tsuql atau berat. Dikatakan demikian, karena seorang
wazir memikul beban tugas-tugas kenegaraan yang berat. Kepadanyalah dilimpahkan
sebagian kebijakasanaan-kebijaksanaan pemerintahan dan pelaksanaannya. Dalam
bahasa Arab dan Persia modern, wazir mempunyai pengertian yang sama dengan
menteri yang mengepalai departemen dalam pemerintahan. Dalam firt encyclopedia
of islam, kata wizarah atau wazir ini diadopsi dari bahasa Persia. Menurut
Kitab Zend Avesta, kata ini berasal dari “ziciria”, yang berarti orang yang
memutuskan, hakim. Sengan pengertian ini, maka wazir adalah nama suatu
kementerian dalam sebuah negara atau suatu kebijaksanaan publik demi
kepentingan rakyat, negara atau kerajaan yang bersangkutan .
Sementara al-Mawardi lebih merinci lagi tiga pendapat tentang asal-usul kata wizarah ini.
Pertama , wizarah berasal dari kata al-Wizar, yang berarti al-tsuql (beban), karena wazir memikul tugas yang dibebankan oleh kepala negara kepadanya, seperti pengertian diatas. Kedua, wizarah terambil dari kata al-Wazar, yang berarti al-malja’( tempat kembali ).
Ketiga, wizarah juga berasal dari
al-azr yang berarti al-zhuhr (punggung). Ini sesuai dengan fungsi dan tugas
wazir yang menjadi tulang punggung bagi pelaksanaan kekuasaan kepala negara,
sebagaimana halnya badan menjadi kuat tegak berdiri karena ditopang oleh
pungung.
Dari pengertian – pengertian ini dapat ditarik pemahaman bahwa wazir merupakan pembantu kepala negara (raja atau Khalifah) dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebab, pada dasarnya, kepala negara sendiri tidak mampu menangani seluruh permasalahan politik dan pemerintahan tanpa bantuan orang –orang yang terpercaya dan ahli di bidangnya masing-masing. Karenanya, kepala negara membutuhkan bantuan tenaga dan pikiran wazir, sehingga sebagian persoalan-persoalan kenegaraan yang berat tersebut dapat dilimpahkan ketangan kanan kepala negara dalam mengurus pemerintahan.
114. KELEMBAGAAN POLITIK ISLAM
14.1
Siyasah Dutsuriyah
Kata siyasah berasal dari kata sasa berarti
mengatur, mengurus dan memerintah atau pemerintahan, politik dan pembuatan
kebijaksanaan. Pengertian secara kebahasaan ini mengisyaratkan bahwa tujuan
siyasah adalah mengatur dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat
politis untuk mencapai sesuatu. Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf
mendefinisikan bahwa siyasah adalah pengaturan perundang-undangan yang
diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.
Sedang kata “dusturi” berasal dari bahasa persia. Semula artinya adalah seorang
yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama.
Dengan demikian, Siyasah Dusturiyah
adalah bagian Fiqh Siyasah yang membahas masalah perundang-undangan Negara agar
sejalan dengan nilai-nilai syari’at. Artinya, undang-undang itu mengacu
terhadap konstitusinya yang tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam
hukum-hukum syari’at yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan yang dijelaskan
sunnah Nabi, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalah maupun berbagai
macam hubungan yang lain. Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan
undang-undang dasar adalah jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota
masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan
stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama.
Sehingga tujuan dibuatnya peraturan
perundang-undangan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang merupakan prinsip Fiqh Siyasah akan tercapai. Atas hal-hal
di ataslah siyasah dusturiyah dikatakan sebagai bagian dari Fiqh Siyasah yang
membahas masalah perundang-undangan Negara. Yang lebih spesifik lingkup
pembahasannya mengenai prinsip dasar yang berkaitan dengan bentuk pemerintahan,
aturan yang berkaitan dengan hak-hak rakyat dan mengenai pembagian kekuasaan.
Secara keseluruhan persoalan di atas tidak dapat dilepaskan dari dua hal pokok:
pertama, dalil dalil kully, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits, maqosid
al-Syariah; dan semangat ajaran Islam di dalam mengatur masyarakat Kedua,
aturan-aturan yang dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi, temasuk
di dalamnya hasil ijtihad para ulama, meskipun tidak seluruhnya. Sebagai suatu
petunjuk bagi manusia, al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tidak
berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan
ini.
Menurut Muhammad Asad, al-Qur’an
memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang baik
bagi manusia sebagai anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu
kehidupan berimbang di dunia ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat.
Ini berarti penerapan nilai-nilai universal al-Qur’an dan hadist adalah faktor
penentu keselamatan umat manusia di bumi sampai di akhirat, seperti peraturan
yang pernah diperaktekkan Rasulullah SAW dalam negara Islam pertama yang
disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.
Isi penting dari prinsip Piagam Madinah adalah
membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur sebuah umat dan menegakkan
pemerintahan atas dasar persamaan hak. Piagam Madinah ini juga merupakan suatu
konstitusi yang telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat
Madinah dalam sebuah pemerintahan dibawah kepemimpinan nabi Muhammad. Piagam
Madinah dianggap oleh para pakar politik sebagai Undang- Undang Dasar pertama
dalam negara Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad
14.2
Siyasah Dauliyah dan Siayasah Maliyah
Yaitu siyasah yang berhubungan
dengan pengaturan pergaulan antara Negara-negara Islam dan Negara-negara bukan
Islam, tata cara peraturan pergaulan warga Negara Muslim dengan bukan Negara
non Muslim yang ada di Negara Islam, hukum dan atauran yan membatasi hubungn
Negara Islam dengan Negara lain dalam situasi damai dan perang. Atau dapat
dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara yang satu dengan Negara yang lain
dan lembaga antar Negara tersebut (Politik hubungan Internasional). Dasar-dasar
Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
1. Kesatuan
umat manusia
Meskipum manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa,
berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi
merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama bertempat
tinggal di muka bumi ini.
2. Al-‘Adalah
(Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik
terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita
wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara
lain:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An-Nisa : 135)
3. Al-Musawah (persamaan)
Manusia
memiliki hal-hal kemanusian yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak
mempersamakan manusia dihadapan hokum kerjasama internasional sulit
dilaksanakan apabila tidak di dalam kesederajatan antar Negara dan antar
Bangsa.
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak
boleh merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia ini berkembang menjadi
kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa di kembangkan menjadi
suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5. Tasamuh (Toleransi)
Dasar ini tidak mengandung arti harus menyerah
kepada kejahatan atau memberi peluang kepada kejahatan. Allah mewajibkan
menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik
ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan
menetralisir ketegangan.
Pengertian
Fiqih Siyasah Maliyah Adalah bidang fiqih siyasah yang mengorientasikan
pengaturannya untuk kemaslahatan rakyat. Maka di dalam siyasah maliyah ada
hubungan diantara tiga factor, yaitu: rakyat, harta dan pemerintah atau
kekuasaan.
Di kalangan rakyat ada dua kelompok besar dalam suatu atau beberapa
Negara yang harus bekerja sama dan saling membantu antara orang-orang kaya dan
orang-oarang miskin. Yang dibicarakan di dalam siyasah Maliyah adalah bagaimana
cara-cara kebijakan yang harus di ambil untuk mengharmonisasikan dua kelompok
ini, agar kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak semakin melebar.
Didalam fiqih siyasah orang kaya di sentuh hatinya untuk mampu bersikap
dermawan, dan orang-orang miskin di harapkan selalu sabar (ulet), berusaha, dan
berdo’a mengharapkan karunia Allah.
Dasar-Dasar Fiqih Siyasah Maliyah, di antaranya
sebagai berikut:
a. Beberapa prinsip tentang harta, antara lain:
1. Masyarakat tidak boleh menggangu dan melarang
pemilikan mamfaat selama tidak merugikan orang lain atau masyarakat itu
sendiri.
2. Karena pemilikan mamfaat berhubungan dengan hartanya,
maka boleh bagi pemilik memindahkan hak miliknya kepada pihak lain, misalnya
dengan jalan menjualnya, mewasiatkannya, menghibahkannya, dan sebagainya.
3.
Pada pokoknya pemilikan mamfaat itu kekal tidak terikat oleh waktu.
b. Dasar-dasar
keadilan sosial
Diantara landasan yang menjadi
landasan keadilan social di dalam islam:
1. Kebebasan
rohania yang mutlak.
Yakni
kebebasan rohania yang di dasarkan kepada kebebasan rohania manusia dari tidak
beribadah kecuali kepada Allah, tidak ada yang kuasa kecuali daripada Allah.
2. Persamaan
kemanusian yang sempurna.
Yakni
prinsip-prinsip persamaan di dalam Islam yang di dasarkan kepada kesatuan jenis
manusia di dalam kejadiannya dan di dalam tempat kembalinya, di dalam
kehidupannya, di dalam matinya, di dalam hak dan kewajibannya di hadapan
undang-undang, di hadapn allah, di dunia dan di akhirat.
c. Tanggung jawab social yang kokoh
Di
antaranya meliputi:
1.
Tanggung jawab terhadap diri sendiri.
2.
Tanggung jawab terhadap keluarganya.
3.
Tanggung jawab individu terhadap masyarakat dan sebaliknya.
d. Hak milik
Islam telah menetapkan adanya hak milik
perseorangan terhadap harta yang di hasilkan dengan cara-cara yang tidak
melanggar hukum syara’. Hanya Islam memberikan batasan batasan tentang hak
milik perseorangan ini agar manusia mendapat kemaslahatan dalam pengembangan
harta dalam menafkahkan dan dalam perputaranya.
1. Bahwa hakikatnya harta itu
adalah milik Allah.
2. Harta kekayaan jangan sampai
hanya ada/dimiliki oleh segolongan kecil masyarakat.
3. Ada
barang-barang yang untuk kepentingan masyarakat seluruhnya, seperti
jalan-jalan, irigasi, tempat-tempat peribadatan.
e. Zakat
Beberapa
bentuk zakat, di antaranya:
1.
Zakat hasil bumi (Usyur)
2.
Zakat emas, ternak, dan zakat fitrah.
3.
Kanz dan harta karun
f. Jizyah
Adalah
iuran Negara (Dharibah) yang diwajibkan atas orang-orang ahli kitab sebagai
imbangan bagi usaha membela mereka dan melindungi mereka atau sebagai imbangan
bahwa mereka memperoleh apa yang di peroleh orang-orang Islam sendiri, baik
dalam kemerdekaan diri, pemeliharan harta, kehormatan. Dan agama.
Sedangkan Bidang Fiqih Siyasah Harbiyah adalah siyasah
yang mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya .
Seperti perdamaian. Perang bisa saja timbul sekali-kali, akan tetapi yang
diharapkan adalah menghindari atau mengurangi terjadinya perang. Kalau mungkin
menghilangkannya. Sekalipun perang sering dianggap sebagai sesuatu yang tidak
baik, tetapi terpaksa harus dilaksanakan dalam kondisi-kondisi di dalam dan di
luar negeri tertentu.
Konsekuensi
dari asas bahwa hubungan Internasional dalam Islam adalah perdamaian saling
membantu dalam kebaikan, maka:
1. Perang tidak
dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sesuai dengan persyaratan darurat
hanya di lakukan seperlunya.
2. Orang yang
tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
3. Segera
menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepda damaian
4. Memperlakukan tawanan perang
dengan cara manusiawi.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesmpulan
Pemikiran
Politik Timur merupakan gagasan atau ide-ide mengenai politik ( kekuasaan ,
aktivitas, struktur, system dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara )
yang berkembang dalam masyarakat timur berdasarkan pada nilai-nilai moralitas
dan keyakinan-keyakinan yang ada pada masyarakat timur.
Pada
dasarnya semua ajaran dalam permikiran politik timur mengacu pada kebaikan dimana
berlandaskan pada moralitas dan kepercayaan masyarakat. Seperti adanya ajaran
Confucius yang mana pemikirannya
sering dianggap doktrin agama oleh para pengikutnya. Confucius lebih menitik beratkan pada
moral. Kecerdasan tanpa moral yang baik
tidak berguna. Kekuasaan harus
diserahkan kepada orang-orang yang memiliki moral yang baik. Untuk menumbuhkan moral yang baik perlu
dikembangkan emosi seperti kasih sayang kepada sesama.
Untuk mencapai moal yang baik setiap manusia harus melalui pendidikan dan
pelatihan yang sungguh-sungguh. Moral sangat erat
kaitannya dengan emosi seperti kasih sayang. Selain itu terdapat ajaran Hinduisme, Buddhisme, Sintoisme dan Islam. Meskipun berasal dari pandangan yang
berbeda-beda namun ajaran tersebut tetap bertujuan untuk kebaikan manusia.
2.
Saran
Pemikiran politik timur merupakan
cara pandang yang digunakan masyarakat timur dalam melaksanakan kehidupan
sehari-hari dan kehidupan pemerintahan. Oleh sebab itu sangat diharapkan untuk
dipelajari oleh semua kalangan terutama mahasiswa selain menambah wawasan dan
agar dapat mengimplemetasikannya agar kehidupan politik timur khususnya pada
negara Indonesia dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang di
inginkan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Margins, Franz.
2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta : Penerbit Kansus
Heart, Michael. 2009. 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia
Sepanjang Sejarah. Jakarta. Penerbit Hikmah
0 komentar:
Posting Komentar