BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
Ada yang lagi sibuk
cari-cari tentang budaya politik di Indonesia. Ini dia makalah tugas
yang aku buat untuk tugas kelas XI tetang budaya politik di Indonesia.
Semoga bermanfaat.
CIRI-CIRI BUDAYA POLITIK
1. Memberi penekanan pada perilaku berupa
sikap,pandangan,ataupun kepercayaan
2. Orientasinya terhdap sistem politk
3. Menggambarkan masyarakat dalam suatu negara
4. Budaya poltik menyangkut masalah legitimasi
5. Budaya politik menyangkut perilaku aparat negara
6. Budaya politik menyangkut proses pembuatan kebijakan pemerintah.
2. Orientasinya terhdap sistem politk
3. Menggambarkan masyarakat dalam suatu negara
4. Budaya poltik menyangkut masalah legitimasi
5. Budaya politik menyangkut perilaku aparat negara
6. Budaya politik menyangkut proses pembuatan kebijakan pemerintah.
MACAM-MACAM BUDAYA POLITIK
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara
yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama
yang luas untuk memper padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat
diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik
memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik
dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik,
tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka
yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang
salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya
politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai,
berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk
bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga
terhadap orang.
Jika
pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu
dapat men ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup
jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir
selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan
sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya
politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan
kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha
yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola
pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan
(bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi,
jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara
kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan
dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan
pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Akomodatif
Struktur
mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja
yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap
diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan
masa kini.
Tipe absolut
dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang
membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang
berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan.
Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah
untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih
sempurna.
1. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang
ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan
orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik,
maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan
ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam
masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik
sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial
political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah,
yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek
political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik
sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant
political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran
politik sangat tinggi.
Dalam
kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya
politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi
budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek
umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b. Tidak
terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
c.
Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang
komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d. Kaum
parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.
e.
Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana
dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
f.
Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif
dan normatif dari pada kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi
terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu,
tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap
pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para
subyek menyadari akan otoritas pemerintah
c.
Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output,
administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak
terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e.
Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek
umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai
partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat
cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara
komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif
(aspekinput dan output sistem politik)
c. Anggota
masyarakat partisipatif terhadap obyek politik
d.
Masyarakat berperan sebagai aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya politik
partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan
perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem
politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki
keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam
beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam
kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang
tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi
tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan
warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi
politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau
keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang
ditunjukan oleh warga negara.
Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk
terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam
politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam
masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar
warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan
kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih
rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya
ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki
perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang
lebih pasif.
Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga
terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil
terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan
masalah-masalah politik.
Demokrasi
sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena
masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses
politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain
itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang
rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang
tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan
tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak
merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih
mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas.
Tidak terdapat kebanggaan
terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa
yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem
politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya
politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat
maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi
politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan
institusi-institusi politik.
Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba
membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat
institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa
dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di
Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang
memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan
terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya
menurut Almond dan Verbatervariasi ke dalam tiga
bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial-
subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the
subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the
parochial-participant culture)
PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK
A. Sosialisasi
Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang
berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik
demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya.
B.
Sosialisasi politik, merupakan proses
pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
C.
Gabriel A.
Almond Sosialisasi politik menunjukkan pada proses
dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau
dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan
patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
D.
Irvin L.
Child Sosialisasi politik adalah segenap proses
dengan mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi
tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi
di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya
sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
E.
S.N.
Eisentadt, dalam From Generation to
Ganeration Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh
manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki
beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi
kebudayaan.
F.
Denis
Kavanagh Sosialisasi politik merupakan suatu proses
dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
ALAT-ALAT PERANTARA SOSIALISASI POLITIK.
Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi
politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman
(sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam
keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering
terjadi “obrolan” politik ringan tentang segala hal, sehingga
tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu
yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah
melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa
dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas
topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis maupun
praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang
kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut
pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi
dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik.
Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun
simpati-sannya secara periodik maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan
nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai
politik harus mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar
mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak
perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di kalangan
dua suku bangsa di Kenya Barat Daya:
kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan sifatnya patriarkis.
Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku
Neuer pada dasarnya bersifat
egaliter (percaya semua orang sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii
bersifat otoriter dan agresif. Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati
tradisi mereka masing-masing.
BUDAYA POLITIK YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT INDONESIA
Masyarakat Indonesia sangat heterogen. Heterogenitas
bangsa Indonesia tidak dalam arti budaya saja melainkan membawa pengaruh yang
sangat besar terhadap budaya politik bangsanya. Bentuk budaya politik Indonesia
merupakan subbudaya atau budaya subnasional yang dibawa oleh pelaku-pelaku
politik hingga terjadi Interaksi, kerja sama dan persaingan antar-subbudaya politik
itu. Interaksi dan pertemuan-pertemuan antar subbudaya itu melatarbelakangi
tingkah laku para aktor politik yang terlibat dalam pentas panggung politik
nasional.
Menurut Rusadi, budaya politik Indonesia hingga dewasa
ini belum banyak mengalami perubahann pergeseran dan perpindahan yang berarti.
Walaupun sistem politiknya sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjau dari
pelembagaan formal. Misalnya sistem politik demokrasi liberal ke sistem politik
demokrasi terpimpin dan ke sistem politik demokrasi pancasila. Budaya politik
yang berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan.
Di era reformasi sekarang ini sistem
politik Indonesia mengalami perkembangan yang cukup bagus dan lebih demokratis
dalam melibatkan partisipan dalam berbagai macam kegiatan politik seperti
pemilu langsung untuk memilih wakil rakyat.
Dalam pembentukan budaya politik budaya politik nasional,
terdapat beberapa unsur yang berpengaruh, yaitu sebagai berikut :
a.
Unsur subbudaya politik
yang berbentuk budaya politik asal.
b.
Anaka rupa subbudaya
politik yang berasal dari luar lingkungan tempat budaya politik asal itu
berada.
c.
Budaya Politik Nasional
itu sendiri.
Lebih jauh lagi
pertumbuhan politik nasional dapat dibagi dalam beberapa tahap.
a.
Berlakunya politik
nasional yang sedang berada dalam proses pembentukannya.
b.
Budaya politik nasional
yang tengah mengalami proses pematangan. Pada tahap ini, budaya politik
nasional pada dasarnya sudah ada, akan tetapi masih belum matang.
c.
Budaya politik nasional
yang sudah mapan yaitu budaya politik yang telah diakui keberadaannya secara
nasional.
PERKEMBANGAN BUDAYA POLITIK DI INDONESIA.
Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang
berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua
buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti
mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam
konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara
beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat
didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda
gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang
yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah
terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima,
menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat
mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang
itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam
lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu,
mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.
Golongan elit yang strategis seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi
objek pengamatan tingkah laku ini, sebab peranan mereka biasanya amat
menentukan walau tindakan politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim
politik lingkungannya. Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai
cara-cara yang tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju
tujuan yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya
terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang seperti
bidang ekonomi dan yang lainnya.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan
tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya
bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa
idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak
dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat.
Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok
kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan
elit tersebut.
Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program
wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya
banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan
berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu
tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat
dibawah politiknya.
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme
itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan
suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri.
Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.
Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal
kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena
kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan
dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai
bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan
untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun
demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang
menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.
Corak pertama terdapat pada golongan elite strategis, yakni kecenderungan untuk
memaksakan subyektifisme mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini
biasanya melahirkan sikap mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat
pada anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua
cirak ini tersintesa sehingga menciptakan suasana politik yang
otoriter/totaliter.
Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara
corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat
dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih
belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya
sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai
idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati
kesempurnaan dalam konteks Pancasila.
Esensi manusia ideal tersebut harus dikaitkan pada konsep “dinamika dalam
kestabilan”. Arti kata dinamik disini berarti berkembang untuk menjadi lebih
baik. Misalkan kepada suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan
dengan dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan
Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa
menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus berkembang.
Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh
persatuan dan memupuk pertumbuhan.
Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu
yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam
kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila.
Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi
Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita
akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan.
Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang
berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup
lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya
pembudayaan.
Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam
diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya
dengan baik. Kedua faktor itu adalah:
- Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
- Rasio, faktor yang berasal dari otaknya
Jikalau kedua faktor tersebut dalam
diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu
terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.
Tentu saja tidak hanya kedua faktor
tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah
masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang
namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang
adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis
ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah
menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal
tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa
kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang
memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang
lebih Pancasilais.
Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan
penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut
perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta
segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh
oleh bangsa Indonesia di masa depan.
FAKTOR PENYEBAB BERKEMBANGNYA BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
(1) Tingkat pendidikan masyarakat
sebagai kunc utama perkembangan budaya politik masyarakat
(2) Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
(3) Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi system politik yang lebih baik)
(4) Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil,independen,dan Bebas)
(5) Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai control sosial,bebas,dan mandiri)
(2) Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
(3) Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi system politik yang lebih baik)
(4) Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil,independen,dan Bebas)
(5) Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai control sosial,bebas,dan mandiri)
0 komentar:
Posting Komentar